KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

ELI... ELI... LAMA SABAKHTANI?!

 ELI... ELI... LAMA SABAKHTANI?!

 


“Allahku... Allahku... mengapa Engkau meninggalkanku?!” Di tengah situasi semacam ini, teriakan tersebut merupakan suatu teriakan yang sangat manusiawi... sangat manusiawi. Wabah, gunung meletus, gempa bumi, banjir, kecelakaan pesawat, krisis ekonomi... kematian! Seakan-akan kita dikepung oleh kematian. Mau sembunyi di mana? Ditalenana, dikuncenana, nek wis wayahe, ameh ngapa? Di saat kematian terjadi di mana-mana, di hadapan mata, merenggut nyawa orang-orang terdekat kita, sungguh sangat manusiawi ketika kita berteriak, “Allahku... Allahku... mengapa Engkau meninggalkanku?!”

 

Segala kata-kata filosofis, kata-kata penyemangat, kata-kata puk-puk, rasionalisasi, bahkan ayat-ayat suci penenang hati yang tergesa-gesa dan terlampau dini itu... segalanya itu hanyalah pelarian! Kita melarikan diri kepada kata-kata indah itu, yang sebenarnya cuma mengalihkan kita dari realita yang ada. Kita menipu diri, bahwa kita masih kuat. Kita mendustai diri, bahwa kita tidak ambyar. Kita memalingkan muka dari jurang dalam yang hitam, tetapi dengan demikian, bukan berarti bahwa jurang dalam yang hitam itu lenyap begitu saja.

 

Menangislah jika memang harus menangis. Merataplah jika memang harus meratap. Menggugatlah jika memang harus menggugat. Nggresula’a nek pancen kudu nggresula. Nek perlu, misuh! Itu semua akan membuatmu lebih berani menatap jurang dalam yang hitam itu. Jika sudah merasa cukup menangis, jika sudah merasa cukup meratap, jika sudah merasa cukup menggugat, nek wis rumangsa cukup anggonmu nggresula lan misuh-misuh, jika kamu sudah merasa cukup membahasakan penderitaan itu... tataplah jurang dalam yang hitam itu tajam... setelah itu katakanlah ‘ya’ pada penderitaan itu.

 

Orang yang terlalu mudah melarikan diri pada kata-kata filosofis atau ayat-ayat suci terlalu dini takkan punya kekuatan untuk mengatakan ‘ya’ pada kepahitan semacam itu. Justru orang yang bisa membahasakan ketakutannya adalah orang yang punya cukup keberanian untuk mengatakan ‘ya’ pada derita. Orang yang punya keberanian untuk mengatakan ‘ya’ pada kehidupan komplit dengan segala manis-pahitnya adalah orang yang punya harapan... dan iman. Orang tersebut sungguh sangat manusiawi (sekaligus ilahi) ... sama seperti pemuda 30-an tahun gondrong brewokan yang berseru “Allahku... Allahku... mengapa Engkau meninggalkan Aku?!” pada tiang salib 2.000 tahun yang lalu. Di balik gugatan dan seruan itu terdapat harapan dan iman pada Allah-Nya. Dia tidak melarikan diri terlalu dini, melainkan menenggak cawan pahit itu hingga tetes terakhir... menghadapi kepahitan itu... hingga paripurna.

 

“Ke dalam tangan-Mu... kuserahkan diriku... ya Tuhan penyelamatku.”

 

Sukoharjo, 17 Januari 2021

@KalongGedhe

Comments