KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

BAKDAN DI RUMAH MERAH KAUMAN SALA

 BAKDAN DI RUMAH MERAH KAUMAN SALA

 

Rumah Merah Kauman.
Foto oleh Padma Kuntjara

Kurang lebih 25 tahun yang lalu pada malam-malam seperti ini aku akan merengek kepada Bapak Denda Surono agar bisa diantar untuk menginap di Kauman, rumah Eyang Padmosudaryo. Rumah merah di Kauman Surakarta itu sebenarnya milik keluarga besar istri Eyang Daryo, Eyang Noniyah (keluarga besar Eyang Nyi Tjokromartono). Namun, kemudian Eyang Daryo dan Eyang Non beserta anak-cucunya yang tinggal di rumah itu hingga kedua eyangku itu meninggal. Hingga kini anak dan cucu eyang masih tinggal di sana. Rumah itu masih menjadi titik kumpul kami, Trah Padmosudaryan. Pada hari-hari menjelang Bakdan seperti ini di sana 25 tahun yang lalu cucu-cucu eyang akan berkumpul, aku dan saudara-saudara sepupuku. Pada malam harinya saudara-saudara sepupuku akan takbiran, keliling Kauman membawa obor sambil berkumandang, “Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd.” Allah mahabesar! Sebuah hari raya penuh kemenangan dan suka cita!


Sementara, aku tetap tinggal di rumah Kauman, main mainan, pinjam mainan Mas Padma Kuntjara. Atau, jika mas-mas sepupu dari Pondok Gede Jakarta—anak-anak Pakdhe Padmo Trinurcipto—tiba, ya ngobrol dengan mereka. Saat itulah logatku akan terbawa logat Jakarta mereka yang asing tapi eksotis di telingaku.


Setelah saudara-saudara sepupuku selesai takbiran, masih ada cukup waktu bagi kami untuk bermain bersama atau berbagi cerita. Lalu kami akan tidur bersama-sama; kadang di pendapa, kadang di dalem, kadang di gandok. Yang jelas, kami tidak pernah punya cukup nyali untuk tidur di senthong, sebab katanya itu adalah bagian rumah kami yang paling wingit.


Besok paginya pasca-Salat Ied, kami akan antri untuk sungkem Eyang Padmosudaryo. Mulai dari budhe yang tertua, lalu disusul pakdhe-budhe yang lain, kemudian bapak, dan adik-adik bapak. Kami cucu-cucu eyang juga antri untuk sungkem. Tidak peduli kami Islam atau Katolik, pada hari itu kami merayakan kemenangan dan sukacita itu bersama, saling maaf-memaafkan, sungkem eyang bersama, dan makan lontong opor bersama-sama. “Eyang keluarga Pancasila,” jawab bapak suatu ketika tatkala kutanyai mengapa agama anak-cucu eyang ada yang Islam dan ada yang Katolik dan Protestan. Bahkan, baru pada saat aku SMP aku baru tahu ternyata eyang sepanjang hayatnya punya pantangan yaitu pantang beragama, dan pada akhirnya baru mengucapkan dua kalimat syahadat beberapa saat menjelang meninggalnya.


Setelah selesai sungkem eyang, aku dan saudara-saudara sepupuku akan ikut bersama budhe dan bulik keliling Kampung Kauman untuk silaturahmi dengan tetangga sekitar. Setelah acara keliling kampung itu selesai, aku dan saudara-saudara sepupuku akan menghitung jumlah uang fitrah yang berhasil kami kumpulkan: 100, 500, 1.000, 5.000, 10.000. Bisa pegang uang 5.000 dan 10.000 pada waktu itu kurasa sudah sangat banyak sekali, sebab dengan uang 500 kami sudah bisa beli makanan ringan Anak Mas, yaitu mie kering yang cara makannya adalah dihancurkan tanpa direbus lalu ditaburi bumbu, kemudian dimakan langsung kriuk-kriuk. Uang fitrah yang kami kumpulkan itu kami tabung untuk beli mainan atau jajan.


Bakdan atau lebaran di Kauman adalah peristiwa kultural—selain tentu saja religi—yang secara integral menjadi bagian dari historisitasku sebagai seorang Padmo. Bakdan tahun 1444H/2023M ini, besok pagi itu, akan diadakan kumpul-kumpul keluarga trah Padmosudaryo di Kauman Surakarta lagi, di rumah tua warna merah di Jalan Kalimasada itu. Sayang sekali aku tidak dapat turut serta hadir berjumpa dengan budhe, om, bulik, mas, mbak, adik-adik, ponakan, dan cucuku (Aku wis duwe putu! Aku wis dadi eyang!). Akhir bulan ini kontrakanku habis, sehingga aku harus pindah rumah, dan tetek-bengek pindahan itu sangat menyita energi. Anak bungsuku yang perlu dijaga energinya supaya tidak rewel, sebab peristiwa pindah rumah selalu tidak mudah bagi anak-anak. Libur panjang lebaran ini kumanfaatkan untuk pindah ke rumah yang baru. Semoga kelak di acara pernikahan mas Padmo Agung aku bisa pulang ke Surakarta untuk berkumpul lagi bersama keluarga trah Padmosudaryo. Dalem abang nang Kauman Sala, aku kangen!


Trah Padmosudaryan berfoto bersama di depan Dalem Kauman.
Foto koleksi Padma Kuntjara

Bakdan tahun depan yang akan menjadi tuan rumah kumpul Trah Padmosudaryan adalah anak-anak Denda Surono, aku dan kedua adikku, Padma Dewi dan Gangga Tribuana. Mau tidak mau aku full team harus pulang ke Surakarta. Ya, Surakarta bagiku adalah ibarat Yerusalem bagi orang-orang Abrahamik, sebuah jouissance yang hilang.


Akhir kata... Sugeng Riyadi. Mugi sadaya dosa lan kalepatan linebur ing dinten riyaya punika. Kula nyuwun genging pangaksami awit sadaya salah kula.

 

Singosari, 21 April 2023

Padmo Adi


Comments