BAKDAN
DI RUMAH MERAH KAUMAN SALA
Kurang lebih 25 tahun yang lalu pada
malam-malam seperti ini aku akan merengek kepada Bapak Denda Surono agar bisa
diantar untuk menginap di Kauman, rumah Eyang Padmosudaryo. Rumah merah di Kauman
Surakarta itu sebenarnya milik keluarga besar istri Eyang Daryo, Eyang Noniyah (keluarga besar Eyang Nyi Tjokromartono).
Namun, kemudian Eyang Daryo dan Eyang Non beserta anak-cucunya yang tinggal di
rumah itu hingga kedua eyangku itu meninggal. Hingga kini anak dan cucu eyang
masih tinggal di sana. Rumah itu masih menjadi titik kumpul kami, Trah
Padmosudaryan. Pada hari-hari menjelang Bakdan seperti ini di sana 25 tahun yang lalu cucu-cucu
eyang akan berkumpul, aku dan saudara-saudara sepupuku. Pada malam harinya
saudara-saudara sepupuku akan takbiran, keliling Kauman membawa obor sambil
berkumandang, “Allaahu akbar Allaahu
akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar
walillaahil hamd.” Allah mahabesar! Sebuah hari raya penuh kemenangan dan
suka cita!
Sementara, aku tetap tinggal di rumah
Kauman, main mainan, pinjam mainan Mas Padma Kuntjara. Atau, jika mas-mas
sepupu dari Pondok Gede Jakarta—anak-anak Pakdhe Padmo Trinurcipto—tiba, ya
ngobrol dengan mereka. Saat itulah logatku akan terbawa logat Jakarta mereka
yang asing tapi eksotis di telingaku.
Setelah saudara-saudara sepupuku selesai
takbiran, masih ada cukup waktu bagi kami untuk bermain bersama atau berbagi
cerita. Lalu kami akan tidur bersama-sama; kadang di pendapa, kadang di dalem,
kadang di gandok. Yang jelas, kami tidak pernah punya cukup nyali untuk tidur
di senthong, sebab katanya itu adalah bagian rumah kami yang paling wingit.
Besok paginya pasca-Salat Ied, kami akan
antri untuk sungkem Eyang Padmosudaryo. Mulai dari budhe yang tertua, lalu
disusul pakdhe-budhe yang lain, kemudian bapak, dan adik-adik bapak. Kami
cucu-cucu eyang juga antri untuk sungkem. Tidak peduli kami Islam atau Katolik,
pada hari itu kami merayakan kemenangan dan sukacita itu bersama, saling
maaf-memaafkan, sungkem eyang bersama, dan makan lontong opor bersama-sama. “Eyang
keluarga Pancasila,” jawab bapak suatu ketika tatkala kutanyai mengapa agama
anak-cucu eyang ada yang Islam dan ada yang Katolik dan Protestan. Bahkan, baru
pada saat aku SMP aku baru tahu ternyata eyang sepanjang hayatnya punya
pantangan yaitu pantang beragama, dan pada akhirnya baru mengucapkan dua
kalimat syahadat beberapa saat menjelang meninggalnya.
Setelah selesai sungkem eyang, aku dan
saudara-saudara sepupuku akan ikut bersama budhe dan bulik keliling Kampung
Kauman untuk silaturahmi dengan tetangga sekitar. Setelah acara keliling
kampung itu selesai, aku dan saudara-saudara sepupuku akan menghitung jumlah
uang fitrah yang berhasil kami kumpulkan: 100, 500, 1.000, 5.000, 10.000. Bisa
pegang uang 5.000 dan 10.000 pada waktu itu kurasa sudah sangat banyak sekali,
sebab dengan uang 500 kami sudah bisa beli makanan ringan Anak Mas, yaitu mie
kering yang cara makannya adalah dihancurkan tanpa direbus lalu ditaburi bumbu,
kemudian dimakan langsung kriuk-kriuk. Uang fitrah yang kami kumpulkan itu kami
tabung untuk beli mainan atau jajan.
Bakdan atau lebaran di Kauman adalah
peristiwa kultural—selain tentu saja religi—yang secara integral menjadi bagian
dari historisitasku sebagai seorang Padmo. Bakdan tahun 1444H/2023M ini, besok
pagi itu, akan diadakan kumpul-kumpul keluarga trah Padmosudaryo di Kauman
Surakarta lagi, di rumah tua warna merah di Jalan Kalimasada itu. Sayang sekali
aku tidak dapat turut serta hadir berjumpa dengan budhe, om, bulik, mas, mbak,
adik-adik, ponakan, dan cucuku (Aku wis
duwe putu! Aku wis dadi eyang!). Akhir bulan ini kontrakanku habis,
sehingga aku harus pindah rumah, dan tetek-bengek pindahan itu sangat menyita
energi. Anak bungsuku yang perlu dijaga energinya supaya tidak rewel, sebab
peristiwa pindah rumah selalu tidak mudah bagi anak-anak. Libur panjang lebaran
ini kumanfaatkan untuk pindah ke rumah yang baru. Semoga kelak di acara
pernikahan mas Padmo Agung aku bisa pulang ke Surakarta untuk berkumpul lagi
bersama keluarga trah Padmosudaryo. Dalem
abang nang Kauman Sala, aku kangen!
|
Trah Padmosudaryan berfoto bersama di depan Dalem Kauman. Foto koleksi Padma Kuntjara |
Bakdan tahun depan yang akan menjadi
tuan rumah kumpul Trah Padmosudaryan adalah anak-anak Denda Surono, aku dan
kedua adikku, Padma Dewi dan Gangga Tribuana. Mau tidak mau aku full team harus pulang ke Surakarta. Ya,
Surakarta bagiku adalah ibarat Yerusalem bagi orang-orang Abrahamik, sebuah jouissance yang hilang.
Akhir kata... Sugeng Riyadi. Mugi sadaya dosa lan kalepatan linebur ing dinten riyaya
punika. Kula nyuwun genging pangaksami awit sadaya salah kula.
Singosari, 21 April 2023
Padmo Adi
Comments
Post a Comment