KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

SEKUNTUM DOA UNTUK TUHAN DI SURGA

Tuhan kami yang ada di surga
apakah Kaupernah memandang kami di dunia?

Dimuliakanlah Nama-Mu
dengan keadilan dan emansipasi sosial manusia

Datanglah Kerajaan-Mu pada hari ini
sehingga orang miskin dapat sekolah, berobat, dan makan
atau, haruskah kami datangkan sendiri Kerajaan Surga itu
dengan memaksa-Mu hadir di tengah-tengah kami?!

Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga
namun kami yakin ketimpangan sosial ini bukan salah satunya
dan kami yakin surga tidak sekacau-balau ini

Berilah kami rezeki pada hari ini
atau setidaknya berilah kami jalan untuk mendapatkan sesuap nasi
sebab kami tak butuh makanan melimpah
hanya nasi untuk anak kami yang kelaparan

Ampunilah kesalahan kami seperti kami mengampuni yang bersalah kepada kami
karena kami terpaksa memberontak
dan membunuh mereka yang senantiasa menekan dan menindas kami
bukan karena kami benci atau ingin membalas
semata hanya ingin membela diri
setelah sekian tahun tak mendapat keadilan
tapi jika memang salah, kami siap menanggung dengan adil
seperti yang bersalah kepada kami menanggung kesalahannya dengan adil
tidak bersilat lidah dan mengambinghitamkan yang tak bersalah
atau membayar makelar kasus
atau mendapat perlakuan VIP di hotel prodeo
sebab sudah cukup satu Tibo dan sudah cukup tragedi ’65 yang tak selesai
atau penggelapan-penggelapan harta rakyat

Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
sebab kami, manusia, memiliki batas kesabaran
atau haruskah kami membunuh-Mu pula
sehingga dapat memperjuangkan keadilan ini sendiri?
janganlah kami mengulang seruan “Eli, lama sabakhtani?!”

Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat
sebab manusia sekarang lebih iblis dari pada setan
dan lebih predator dari pada karnivora
atau berilah kami kekuatan untuk melawan mereka yang jahat
atau, akankah Kauberi kami Mesias yang baru?
atau, setidaknya datanglah!
datanglah!
kami merindukan-Mu
dengarkanlah seruan kami
sebagaimana Kaudengarkan seruan Israel saat diperbudak Mesir
datanglah dan bebaskan kami dengan lengan yang teracung...

Izinkan kami mencintai-Mu, Tuhan
dan menghadirkan Kerajaan-Mu di dunia
sebab kami percaya, Kerajaan Surga telah hadir
sejak Pemuda Gondrong itu mati di Kalvari
bahkan sejak lahir di gua yang hina
dan saat hidup di tengah-tengah kami

Kami menanti kepenuhan itu.
Namun, bagaimana kami beriman dan berdoa padamu
serta memuji kebaikan serta keadilan-Mu
di saat hati kami ngilu anak kami hilang diperdagangkan?
di saat anak kami sekarat kelaparan dan menahan pedih sakit?
di saat kami tak bisa menyekolahkan anak kami?
di saat tak sesuap pun nasi dapat mengenyangkan perut anak kami?
sementara tikus-tikus menari dan lepas bebas dengan uang kami?!

Jangan biarkan doa-doa kami hanya menjadi candu yang meninabobokan
dan membuat kami enggan lagi berjuang menghadapi kenyataan

(sela)

Sungguh
kadang aku berharap tak pernah mengenal-Mu
Dengan tak mengenal-Mu bukan berarti aku pasti hidup tak bermoral, bukan?
Aku muak ditanyai tentang misteri Ada-Mu
Mengapa mereka senantiasa menanyakan itu?
Mengapa mereka selalu mempermasalahkan itu?
Kuharap aku tak pernah menyelami misteri-Mu sehingga sama sekali tak tahu jawab

Mengapa mereka tidak bertanya
bagaimana mungkin bangsa yang beragama ini sedemikian rusak moralnya
compang-camping masyarakatnya
dan menyedihkan kemanusiaannya?!

Sebab aku percaya
verus philosophus amator Dei
amator Dei amator homini
quia homo imago Dei est
et
Gloria Dei vivens homo!!!



Ah, aku hanya pemuda berdosa yang berdoa.

Amin.

Sarang Kalong, 28 Januari 2010
Kalong Gedhe

Comments