KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

UJIAN NASIONAL: SISTEM PENDIDIKAN YANG TIDAK MENDIDIK

UJIAN NASIONAL: SISTEM PENDIDIKAN YANG TIDAK MENDIDIK
-Padmo Adi-

Belajar adalah sebuah proses perwujudan diri dalam hidup, suatu proses semakin menjadi diri sendiri. Manusia belajar untuk tumbuh secara utuh dalam intelegensi, emosi, spiritual-rohani, estetika-seni, dan etos-daya juang. Atau, dengan kata lain semakin menjadi manusia.

Terdapat perbedaan bakat dan kemampuan masing-masing manusia. Antara manusia yang satu dengan yang lain memiliki kemampuan yang unik, seunik manusia itu sendiri. Itulah sebabnya kita mengenal multiple-intelligence. Ada yang cerdas dalam bidang numerik, bahasa, musik, ruang, dll.

Belajar selalu diidentikkan dengan proses mendapatkan pendidikan. Dan, proses mendapatkan pendidikan ini oleh masyarakat pada umumnya selalu diidentikkan dengan sekolah. Padahal, manusia tidak hanya belajar di/saat masih ber- sekolah. Lingkungan terdekat (keluarga, khususnya orang tua) justru adalah tempat manusia mendapatkan pendidikan dasar dan awal. Lalu, ketika manusia semakin menemukan dunianya (tempat dia semakin menyatakan adanya), manusia semakin belajar menjadi dirinya sendiri secara lebih dalam.

B. S. Mardiatmadja, dalam artikelnya berjudul “Ruh Pendidikan” (Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas: Jakarta, 2004), memaparkan bahwa sekolah tidak identik dengan pendidikan. Berdasarkan pengamatan penulis kepada beberapa sekolah dan proses dialog penulis dengan beberapa guru serta murid, tidak senantiasa dengan bersekolah kita mendapat pendidikan. Mentalitas para pengajar yang tidak menyadari panggilan luhurnya serta mentalitas para murid sendiri yang tidak menyadari bahwa mereka adalah subyek belajar membuat sekolah semakin jauh dari pendidikan. Menjadi guru bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hidup untuk membantu orang lain (murid) belajar menjadi dirinya sendiri (Paul Suparno, ”Pendidikan dan Peran Guru”, Pendidikan Manusia Indonesia, Kompas: Jakarta, 2004). Namun, tak sedikit guru yang hanya datang, mengisi daftar presensi, lalu pergi entah ke mana dengan hanya meninggalkan tugas bagi murid-muridnya, tapi tetap menerima gaji penuh.

Sedangkan para murid sendiri mengalami disorientasi hidup. Dalam proses identivikasi diri mereka kehilangan figur teladan dan idola sehingga mencari figur itu dalam wahana yang mudah mereka dapatkan, media masa. Padahal, dalam media masa (khususnya televisi) mayoritas disuguhkan figur-figur yang justru tidak mendidik, tapi lebih mudah diidolakan dan ditiru. Para murid pun tak mampu memanfaatkan sarana hidup dengan baik. Berdasarkan pengakuan salah seorang siswi sebuah SMA ternama dan favorit di Surakarta, beberapa murid justru asyik sms-an, mxit-an (semacam chatting via layanan internet di HP), bahkan menelepon saat guru mengajar di depan kelas.

Puncaknya adalah fenomena Ujian Nasioanl (UN). UN menihilkan keunikan kecerdasan manusia. Enam mata pelajaran yang diujikan dengan batas minimal lima koma sekian memacu guru dan murid menghalalkan segala cara agar para murid lulus 100%. Para murid digembleng hanya dengan enam pelajaran yang diujikan itu. Sadar ataupun tidak mereka mengesampingkan pelajaran-pelajaran lain yang mungkin akan lebih memanusiakan beberapa murid lainnya. Berarti, para murid dianggap berkemampuan dan berkecerdasan sama. Ingat, kecerdasan dan kemampuan manusia itu berbeda-beda serta unik. Penyeragaman ini menghilangkan esensi keunikan manusia itu sendiri. Seolah-olah para murid yang berkecerdasan dalam bidang musik atau lukis jauh lebih buruk dari pada atau tiada artinya dibanding dengan para murid yang berkecerdasan dalam bidang fisika atau bahasa (Inggris). Sebab, yang menentukan lulus tidaknya seorang murid hanya enam mata pelajaran itu. Sedangkan, sebenarnya kemanusiaan manusia jauh melebihi sekadar enam mata pelajaran yang diujikan itu.

Untuk menghadapi UN ada kecenderungan para siswa diberi jam-jam tambahan atau bimbingan-bimbingan belajar. Mereka kekurangan waktu untuk mendapatkan pendidikan afektif-emosional, spiritual-rohani, dan psikomotorik. Apa lagi di dalam lembaga-lembaga bimbingan belajar itu para murid tidak belajar, tetapi diajari siasat untuk mengerjakan UN. Apakah hal ini mendidik? Situasi seperti ini justru tidak mendukung proses kemanusiaan seorang manusia. Ingat, belajar adalah proses semakin menjadi manusia seutuhnya. Seorang manusia yang utuh dan dewasa adalah seseorang yang berhasil mengintegrasikan baik kognisi, afeksi-emosi, spiritual-rohani, dan psikomotorik.

Agar para siswa dapat lulus 100%, tak jarang guru dan siswa menghalalkan segala cara. Penghalalan segala cara ini justru tidak mendidik. Proses tidak dihargai. Yang penting dan utama adalah hasil akhir, lulus. Padahal, pendidikan/belajar adalah sebuah proses. Jika proses tak lagi dihargai, akankah UN masih bisa dikatakan bagian dari sistem pendidikan yang mendidik dan masih layak dipertahankan?

Comments