MARIA GRAVIDA: Merefleksikan Peristiwa Kehamilan Maria, Kala Maria Mengalami Perubahan Radikal pada Tubuhnya

 MARIA GRAVIDA Merefleksikan Peristiwa Kehamilan Maria Kala Maria Mengalami Perubahan Radikal pada Tubuhnya Patung Maria Gravida berjudul Humanity of Mary  karya Galuh Sekartaji Patung ini sekarang ada di Kapel Kanisius, Jakarta Foto oleh Alexander Koko, S.J. Dari sekian banyak hal yang dapat dilakukan perempuan tanpa dapat dilakukan laki-laki, salah satunya adalah hamil. Perempuan secara biologis dianugerahi rahim, tempat tumbuhnya janin selama kurang-lebih 9 bulan. Peristiwa hamil dapat memiliki beragam makna bagi diri perempuan; bisa positif bisa juga negatif. Pada umumnya banyak perempuan menanti-nantikan kehamilan ini, bahkan merawat kehamilan ini dengan sungguh, hingga melahirkan nanti. Walau, dalam beberapa kasus ada juga kemudian perempuan yang menolak kehamilannya. Penolakan kehamilan ini biasanya terjadi karena situasi sosial yang tidak mendukung, misalnya ketiadaan lelaki—sang suami. Situasi tanpa lelaki (baca: suami) itu pulalah yang dialami Maria (atau dalam tr...

Kita Bertemu pada Titik di Mana Kita Berbuat Kebaikan

Kita Bertemu pada Titik di Mana Kita Berbuat Kebaikan

Pagi ini aku mengunjungi seorang nenek yang berjualan makanan di dekat kuburan. Aku sarapan di sana. Mahasiswa/i "Universitas Humanis-Akademis Jogja" mungkin mengenal siapa nenek ini. Sepanjang aku menyantap sarapanku, nenek itu dengan bahagia menceritakan seorang "cucu angkat"-nya. Dia dulu adalah seorang mahasiswa "Universitas Humanis-Akademis Jogja" pula, sekarang sudah lulus dan bekerja di kota yang selalu ingin aku caci-maki dan umpati. Pemuda itu dulu selalu makan di warung nenek dan hubungan mereka dekat, sehingga nenek itu sudah menganggapnya cucunya sendiri. Memang setiap kali aku sarapan di sana, nenek itu selalu bercerita tentang pemuda tersebut. Nenek itu bercerita betapa baiknya dia. Murah hati.

Aku tidak tahu, apakah nenek itu mengetahui bahwa pemuda itu seorang ateis. Aku tahu dia. Ya, dia memang seorang ateis... bukan sekadar hanya seorang eksistensialis, melainkan eksistensialis-ateis. Mungkin nenek itu tidak menaruh peduli bahwa dia seorang ateis atau seorang beriman. Yang nenek itu pahami adalah bahwa dia menyayangi pemuda itu seperti cucunya sendiri, dan bahwa pemuda itu begitu baik kepada nenek. Mereka memiliki cerita yang indah.

Mungkin kalian, orang-orang beriman, mencibir... mungkinkah seorang ateis melakukan sesuatu yang baik? Apakah ada sesuatu yang baik yang berasal dari orang yang tidak mengakui Tuhan? Bahkan, mungkin kalian, orang-orang beriman, bertanya nyinyir... tidak sia-siakah kebaikan yang dilakukan seorang ateis itu? Bukankah mereka, orang-orang ateis, adalah yang empunya neraka? Dan, mungkin kalian, orang-orang beriman, menanyakan pertanyaan-pertanyaan naif lainnya.

Aku pribadi hanya teringat khotbah Papa Fransiskus beberapa waktu silam. Kurang lebih garis besar khotbah Papa Fransiskus adalah, "Kita bertemu pada titik di mana kita berbuat kebaikan."

tepi Jakal, 05 Juni 2013
@KalongGedhe

Comments

  1. Aku memiliki beberapa kawan baik dari negeri tirai bambu, di mana kebanyakan dari mereka tidak pernah 'mengenal' apa itu 'tuhan'.
    Suatu hari, aku bertanya pada salah satu dari mereka dengan keterbahasan bahasa yang kami miliki :
    "You are not belive in any god, so why you are not do some kind of bad things in your life now? No need for you to take any responsibility after you die,don't you?"
    Dan kawanku itu menjawab :
    "So, my friend ... You do the right things in your life now just because of 'affraid' ? Do it with your heart, man ! And no need any god when you do that !"

    Aku berusaha mencerna obrolan itu dengan sedikit takut bahwa penangkapanku berbeda, mengingat bahasa Inggris kami yang sama-sama kurang baik.
    Dan aku menyimpulkan bahwa kawanku ingin mengatakan, bahwa kebaikan sejati adalah dari hati, tidak peduli siapa tuhanmu (atau bahkan tidak bertuhan sekalipun).
    Bagaimana menurutmu ?

    Dan, ya tentu aku mengenal nenek itu. Sejak menginjakkan kaki untuk pertama kalinya 9 tahun yang lalu, sampai hari ini aku tetap tidak akan lupa wajahnya yang sabar dan teduh ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Religion has nothing to do with morals.
      You don't have to be a religious man in order to be a good man.
      Sometimes, a religious man scares me a lot... for their stupidity, narrow minds, and claim of owning of God.

      I myself, an existentialist, argue that we must choose to do what is right according to our heart. And, what is right if it is not right to others?

      Delete

Post a Comment