KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Bukankah Kita Telah Merdeka?

Bukankah Kita Telah Merdeka?

Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun lalu moyang kita berjuang
Mengangkat bedil, mengangkat kelewang, mengangkat keris, dan pedang
bahkan tak jarang moyang kita memakai tipu muslihat dan diplomasi
demi meraih satu tujuan bersama, yaitu kemerdekaan dan harga diri

Kemudian sejarah pun mencatat...
ada yang menjadi pahlawan
ada pula yang menjadi pengkhianat!
Semuanya telah kita mitoskan

Dan, pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta membacakan proklamasi
Jadi, bukankah kita telah merdeka?

Ya... kita telah merdeka.
Itulah mitologi yang kita hidupi kini...
bahwa kita merdeka.
Tapi, sekarang... lalu apa?

15 Agustus 2013

Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments

Post a Comment