KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Wacana Tuan untuk Memasuki yang Simbolik

Wacana Tuan Merupakan Wacana Dasar yang Dipakai oleh Seorang Anak untuk Memasuki Tatanan Simbolik*

Untuk menjelaskan hal tersebut di atas, kita harus kembali kepada perkembangan psikoseksual pada anak. Pada fase genital seorang anak menemukan ketertarikan seksual kepada orangtuanya. Seorang anak menemukan diri (ego) lewat cermin (liyan, “l” kecil, ibu). Anak itu juga mengalami suatu pengalaman ditatap (gaze). Di sini seorang anak mengalami suatu persatuan primordial dengan sang ibu. Lacan menamai persatuan primordial ini sebagai jouissance primordial. Sedangkan Zizek menamainya sebagai subject before subjectification. Sang anak berusaha untuk tidak pernah lepas dari “pelukan” ibu ini, dia akan melakukan apapun untuk tidak ditinggalkan sang ibu. Sedangkan sang ibu pun menikmati persatuan primordial ini sebab sebenarnya dia tengah menjadi seseorang yang lack akan falus sehingga seakan-akan dia mendapatkan kembali falus yang hilang itu dengan bersatu bersama anaknya.

Dari peristiwa itu muncullah Oedipus Complex, yaitu ketika seorang anak mengalami ketertarikan seksual kepada orangtuanya. Akan tetapi, hal tersebut dilarang! Terdapat larangan oleh “ayah” (ayah konkret, ayah simbolik, bahkan ibu itu sendiri). Jika tidak dilarang, akan terjadi inses. Maka, si anak akan merepresinya hingga melahirkan ketidaksadaran. Si ibu ketika mengalami persatuan primordial dengan anaknya itu sebenarnya juga mengalami paradoks. Si ibu ingin sekali bersatu dengan anaknya karena dia mengalami lack of phallus, tetapi di saat yang sama dia juga melarang persatuan tersebut Dalam Nama Bapa (The Name of The Father)!

Si anak kemudian merepresi hasrat bersatu dengan ibu (Oedipus Complex) itu semua menjadi ketidaksadaran, lalu membawa Nama Bapa tersebut. Dia mencari pengganti/displacement dari hasrat bersatu dengan ibunya itu pada sesuatu (atau bahkan banyak) hal yang lain. Dia akan mengalihkan object of desire-nya itu pada sesuatu, dia akan mencari sesuatu itu sedemikian rupa, tetapi sebenarnya yang dibayangkan adalah persatuan primordial dengan ibunya itu.

Selain itu, karena dia dilarang untuk bersatu dengan ibunya Dalam Nama Bapa, dia pun akan membahasakan pencariannya pada sesuatu yang lain itu juga Dalam Nama Bapa. Dia akan membahasakan pengalihan object of desire-nya itu dengan bahasa yang dapat diterima oleh sosial. Inilah metafora. Nama Bapa itu adalah metafora, dan itu adalah suatu kompromi antara hasrat ingin bersatu dengan ibunya (mengulang persatuan primordial) itu dengan hukum-hukum sosial.

Nama Bapa ini adalah Kata-kata Bapa, Wacana Bapa, yang tak lain adalah Wacana Tuan. Rumusan Wacana Tuan (Nama Bapa):


Wacana Tuan
Graf I Lacan
Bandingkan dengan graf pertama ini...
S1 sejajar dengan S
S2 sejajar dengan S’
$ sejajar dengan $
a sejajar dengan Δ

Δ bergerak, kemudian ditabrak garis bahasa S à S’, sehingga menghasilkan $. Hasrat bergerak, kemudian harus dibahasakan, sehingga menghasilkan subyek lack.

Di dalam Wacana Tuan (Nama Bapa), Subyek harus berbicara dengan S1 (Nama Bapa) untuk dapat mengorganisasi S2 (langue/bahasa yang disediakan oleh masyarakat), sehingga dapat mencapai “a” (jejak-jejak jouissance primordial, rem(a)inder). Akan tetapi, sebenarnya yang berbicara bukan S1, melainkan $ (subyek lack).

Nama Bapa adalah penanda yang dipakai sebagai dasar untuk dapat berbicara dan hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai lelaki atau perempuan dengan segala konsekuensinya. Nama Bapa adalah prinsip utama/dasar seseorang dapat berbicara/hadir di dalam masyarakat. Orang yang berhasil memakai Nama Bapa adalah orang yang “normal”, sedangkan yang gagal adalah orang yang psikosis. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa Wacana Tuan adalah wacana yang paling dasar! Wacana Tuan adalah wacana pertama dan utama yang HARUS dipakai oleh seorang individu untuk dapat masuk ke dalam tatanan simbolik/masyarakat.

Walaupun, setelah berputar-putar dengan menggunakan Wacana Tuan (Nama Bapa), orang tersebut tetap tidak menemukan “a”, sehingga terbelah ($). Orang tersebut tidak puas dengan S2 yang disediakan oleh masyarakat sebab sama sekali tidak menuntunnya bertemu kembali dengan “a”. Orang itu kemudian “berteriak” bahwa “Bukan itu sebenarnya yang aku mau!!!” Ketika orang muak/mandek/mentok dengan Wacana Tuan, orang itu merasa bahwa masyarakat tak lagi punya/menyediakan kata-kata yang bisa membantunya menemukan “a”, dia akan kembali kepada tubuh. Dia akan mulai memasuki Wacana Histeris.

Wacana Histeris

$ akan naik, mengambil alih kedudukan S1. $ menggugat S2 (bahasa yang disediakan oleh masyarakat/tatanan masyarakat)! Walaupun, sebenarnya yang berbicara adalah “a”. Ketika $ mengambil alih, dia tengah menciptakan S1 (Wacana Tuan) baru.

Dan seterusnya... . Akan tetapi, pada dasarnya, sebelum bisa sampai sejauh itu, seseorang terlebih dahulu mau tidak mau harus memakai Wacana Tuan (Nama Bapa) untuk masuk ke tatanan simbolik (masyarakat), atau dia hanya akan menjadi seorang yang psikosis.

*Tulisan ini pada mulanya adalah jawaban ujian akhir Mata Kuliah Kajian Budaya yang diolah dari buku catatan kuliah dan reader (St. Sunardi dan A. Supratiknya) oleh Padmo Adi.

Comments