Menanti Hujan Reda
Malam Bulan Desember di Surakarta, hujan dan becek.
Sebuah keluarga berkumpul di rumah. Ibu duduk cemas. Seorang perempuan, anak
dari ibu itu, berdiri, bersandar pada dinding. Dia terus saja menatap pintu
kamar orang tuanya yang tertutup. Di balik pintu itu terbaring bapaknya, yang
kini tengah berada di dalam sana berdua dengan seorang pastor muda. Hujan di
luar telah jadi gerimis, tapi terus saja menangis. Sudah beberapa saat pastor
muda itu menemani bapak, lelaki berusia 64 tahun, yang kini hanya bisa berbaring
lemah menanti ajal, setelah sekian lama menderita kanker. Pastor muda itu hadir
untuk menolong si lelaki secara rohani. Dia memberikan sakramen minyak suci
kepada lelaki itu. Keluarga si lelakilah yang memohonkan sakramen pengurapan
orang sakit itu, supaya jiwanya dikuatkan. Walau terbaring lemah menanti ajal, si
lelaki masih bisa berkomunikasi. Setelah diurapi, dia berkata kepada pastor
muda itu,
“Saya boleh mengaku dosa?”
“Iya, Pak. Boleh. Silakan.”
Ini adalah awal-awal bulan Desember. Hujan memang sudah
mulai turun sejak November yang lalu, tetapi di Surakarta baru awal-awal
Desember inilah hujan turun lebih sering, hampir setiap hari. Hujan, malam, dan
Bulan Desember adalah metafora bagi sebuah masa penantian; penantian akan libur
panjang, penantian akan Hari Raya Natal, penantian akan malam pergantian tahun,
penantian akan Tahun Baru, penantian akan suatu harapan baru, dan adalah sebuah
penantian akan momentum kumpul keluarga. Namun, lebih dari pada itu, bagi lelaki
tua yang terbaring sakit itu, malam hujan bulan Desember itu adalah metafora
penantiannya akan ajal. Hanya saja, dia belum bisa mati, dia belum mau mati,
sebelum dia mengaku dosa dan menebus sesuatu hal yang dia rasa adalah kesalahan
terbesarnya. Dia merasa tidak akan bisa beristirahat dalam damai jika dia belum
mendapatkan ampunan.
Si pastor muda akhirnya keluar dari kamar itu. Si
perempuan yang sedari tadi berdiri bersandar pada dinding mendekatinya. Ibu pun
berdiri, melihat pastor itu, kembali cemas, lalu duduk lagi.
“Bagaimana, Rom, sudah?” tanya si perempuan basa-basi.
“Sudah. Bahkan bapakmu sempat mengaku dosa juga. Lalu
kami berdoa. Namun, ada satu hal yang jadi keinginan bapakmu, dan dia berharap
hal itu dapat dikabulkan, sebelum dia tak kuasa lagi menahan deritanya.”
“Apa itu, Rom?”
***
Leonardus Bayu Seta baru saja menyelesaikan suapan
terakhir makan siangnya. Sementara itu di sisinya, Ni Luh Anjani Devi masih
menikmati segelas es kopi susu. Bayu dan Devi memang janjian untuk makan siang
bersama di kantin kampus setelah lama tidak berjumpa meski satu kota. Mereka
berdua adalah mahasiswa semester akhir sebuah universitas swasta di Yogyakarta.
Mereka harus segera menyelesaikan skripsi masing-masing, lalu segera lulus, dan
beranjak dari kampus mereka itu. Penundaan satu atau dua semester lagi bisa
berakibat DO. Status mapala, mahasiswa paling lama, itu sebenarnya hal yang
lumrah saja bagi para mahasiswa cum
aktivis. Bayu adalah aktivis UKM pecinta alam dengan semboyannya yang gagah per naturam dei amamus, sementara Devi
adalah aktivis teater dengan semboyannya yang berani “Jangan sampai kuliah
mengganggu teater!” Hanya saja, waktu selalu menepati janji. Mereka tidak bisa
jadi mahasiswa abadi. Mereka harus lulus, atau angkat kaki, dan sembilan
semester mereka jadi sia-sia.
“Sudah bab berapa, Dev?”
“Tiga. Ini sedang mengumpulkan mood untuk menulis bab IV. Kamu, Bay?”
“Dua.”
“Dua?”
“Iya. Dua.”
“Udah bimbingan?”
“Aku janjian sama dosbing besok jam 11,” kata Bayu sambil
menyedot es teh, “Apa aku drop saja
ya?”
“Kamu nggak sayang bapak-ibumu?”
“Aku nggak punya motivasi.”
“Aku?”
“Kamu?”
“Iya. Kita.”
“Emang kita nanti bisa kawin, Dev?”
“Kenapa tidak?”
“Aku ke gereja, kamu ke pura.”
“Terus kenapa?”
“Setelah lulus, kamu akan balik ke Singaraja?”
“Untuk beberapa saat, sebelum dapat kerja.”
“Berhenti neater?”
“Bosan jadi seniman seakan-akan, tapi aku juga nggak
punya nyali jadi seniman beneran. Kecuali kamu jadi juragan, terus ngawinin
aku. Kamu yang nyari duit, aku nyeniman.”
“Aku ingin buka warung kopi aja, Dev, biar ada ruang bagi
orang-orang kayak kamu kalau ingin membaca puisi atau performing art.”
“Di mana?”
“Jogja? Atau di Bali saja, ikut kamu? Atau di Solo? Kamu
mau ikut aku tinggal di Solo nggak?”
“Ajak aku ke Lawu. Aku ingin sembahyang di Cetha.”
“Setelah kamu pendadaran saja.”
“Setelah kamu pendadaran saja,” kata Devi sembari
beranjak pergi.
Bayu diam. Dia memandangi Devi menemui si penjual,
membayar, lalu berlalu. Lelaki 22 tahun itu tengah berada di dalam persimpangan
hidup. Dia tengah dihantui sebuah kegelisahan eksistensial. Pertanyaan
filosofis tentang “siapakah aku”, “mengapa aku hidup”, “apa itu hidup”, “apa
makna dari hidup, hidupku”, dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu
berlalu-lalang di dalam kepala Bayu. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul pertama
kali ketika dia berumur 19 tahun. Awalnya dia mengira bahwa pertanyaan itu akan
berlalu begitu saja. Namun, dia salah. Kegelisahan eksistensial itu semakin
menguat. Dia pergi mendaki gunung, kemping, bertualang di alam untuk lari dari
pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Akan tetapi, semakin dia melarikan diri,
semakin dia dihujani kegelisahan tersebut.
“Haruskah aku masuk seminari saja untuk menenangkan
batin?” tanya Bayu kepada dirinya sendiri. “Tapi aku tak pernah ingin menjadi
seorang pastor. Jangankan pastor, jadi bruder pun tak ingin. Apa yang Tuhan
inginkan dalam hidupku ini? Aku ingin kuliah di institut seni di Kota Solo.
Namun, bapak menentang,
‘Ngapain kamu kuliah di institut seni? Mau jadi ikan?’
“Jadi
ikan? Aku hanya ingin jadi seniman. Bapak begitu mendambakan aku bisa kuliah di
universitas negeri, apalagi universitas negeri di Yogyakarta—bukan institut,
apalagi institut seni, tapi universitas, universitas negeri—sama seperti dia
dahulu kala. Untuk melegakan hati bapak, aku ikut SNMPTN dengan prioritas utama
universitas negeri ternama di Yogyakarta. Syukurlah, tapi celaka di mata bapak,
aku tidak pernah lolos SNMPTN! Aku menawar bapak,
‘Universitas swasta saja, Pak. Aku belajar Sastra
Indonesia saja.’
‘Universitas swasta yes,
tapi yang Katolik. Berapapun biayanya, Bapak sanggup. Tapi Sastra Indonesia no. Sastra Inggris saja, atau setidaknya
Pendidikan Bahasa Inggris. Universitas swasta di Jogja itu Bahasa Inggrisnya
oke. Dosennya juga beberapa pastor Jesuit. Kamu ke sana saja. Ikut ujian,
prioritas Sastra Inggris, lalu Pendidikan Bahasa Inggris.’
“Celaka
bagiku, aku memang diterima di universitas swasta Katolik itu, tetapi bukan di
Sastra Inggris. Aku adalah mahasiswa semester sembilan prodi Pendidikan Bahasa
Inggris! Ya, pen-di-di-kan! Secara legal aku adalah seseorang dengan kompetensi
guru Bahasa Inggris, calon guru Bahasa Inggris. Bapak tidak ambil pusing dengan
studi yang dengan terpaksa aku ambil itu, sebab bapak berpikir bahwa lapangan
pekerjaan seseorang dengan kompetensi Bahasa Inggris, entah sastra atau
pendidikan, sangat terbuka luas. Bapak pikir kelak aku bisa jadi seorang editor
di penerbit dan percetakan ternama di Jakarta sana, atau bekerja di perusahaan
asing, atau apesnya ya jadi guru Bahasa Inggris, atau studi lagi biar bisa jadi
dosen, atau paling apes ya mencoba mengikuti CPNS. Namun, itu adalah pandangan bapak,
harapan bapak, bukan pandangan dan harapanku. Setelah bapak tidak merestuiku
menjadi seorang seniman, aku tidak lagi mengenali diriku sendiri, aku tidak
mengenali cita-citaku, aku tidak mengetahui apa yang sebenarnya aku ingin
lakukan dalam hidupku, aku tidak mengenali siapa aku.”
Devi akhirnya pendadaran dan lulus semester itu pada
Bulan Desember menjelang Natal. Setelah yudisium pada bulan Januari di tahun
berikutnya, Devi pulang ke Singaraja, Bali. Sementara, Bayu harus menambah satu
semester untuk menyelesaikan skripsinya itu. Mereka menjalin hubungan jarak
jauh. Hubungan jarak jauh tidak pernah mudah, apalagi mereka berbeda agama,
apalagi Bayu tengah tertekan menyelesaikan skripsi, apalagi Devi mulai
kehilangan raison d’etre setelah
kembali ke Singaraja. Kegamangan adalah sisi gelap dari keberhasilan.
Kegamangan itu bukan pada sebelum mendaki gunung, melainkan setelah sampai di
puncak, dan harus menuruni gunung itu kembali, untuk kembali menjalani
hari-hari. Kegamangan itu bukan pada saat menyiapkan pentas teater, atau pada
malam Hari H pementasan, juga bukan pada saat di atas panggung, melainkan beberapa
menit setelah pentas itu usai, lalu kita kembali ke kamar masing-masing, dan
kemudian tiba-tiba hari berikutnya sudah tiba. Apa arti dari semua proses itu?
Apa arti dari perjuangan mendaki gunung itu? Apa arti dari hari-hari persiapan
pementasan teater yang begitu intensif itu? Apa arti dari hari-hari kuliah
bersemester-semester dan usaha menulis skripsi yang berdarah-darah itu? Tiba-tiba
saja semua terasa hampa.
“Untuk apa ini semua? Apa makna ini semua? Mengapa aku
masih hidup? Mengapa aku sekarang kembali ke Singaraja? Mengapa aku masih
mencintai Bayu dan masih menjadi kekasihnya?” kata Devi kepada dirinya sendiri.
Kegamangan
itu membuat Devi tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Dia belum mampu memaknai
kembali. Dia terpenjara di dalam sebuah kebebasan, pascalulus kuliah. Kebebasan
adalah kutukan yang menjemukan! Namun, orang harus dibebaskan, justru supaya
dia dapat menjadi dirinya sendiri, dan menemukan makna pada kekosongan hidupnya
sendiri.
[Dev, masih marah?] Bayu mengirimkan pesan elektronik
kepada Devi.
[Masih.]
[Udah makan?]
[Basi! L]
[Yawdah.]
[Bay, I miss you...
L]
[Libur Paskah aku ke Singaraja ya, naik motor. J]
[Bab berapa sekarang?]
[Dua.]
[Kok ga da progress?
Selesaikan dulu skripsimu!]
[Dev, ada lowongan guru Bahasa Inggris di Surabaya. Wanna try?]
[Kamu mau hidup sama aku di Surabaya?]
***
|
Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran. Dokumen pribadi. |
Ibu Guru Ni Luh Anjani Devi, S.Pd., seorang Hindhu yang
menjadi Guru Bahasa Inggris di sebuah SMA swasta Katolik di Surabaya. Ini
adalah semester pertama baginya mengajar di sana. Sementara Leonardus Bayu Seta
masih harus menambah satu semester lagi untuk menyelesaikan skripsinya. Dosen
pembimbingnya sudah memberi kartu kuning, bahkan bapaknya sudah memaki-maki
dia. Jika tidak selesai semester ini, Bayu harus membiayai sendiri kuliah dan
hidupnya di Jogja semester depan. Hal itu membuat hubungan Bayu dengan bapaknya
renggang, tapi Bayu tak berani membantah.
Di tengah situasi terdesak itu, kegelisahan Bayu semakin
menjadi-jadi. Malam-malam dia lari ke Ganjuran. Di depan Candi Hati Kudus Yesus
itu dia menangis sejadi-jadinya. Dia menggugat Tuhan,
“Apa yang Engkau kehendaki dariku?! Mengapa Engkau
menciptakan aku?! Mengapa aku harus lahir dari rahim ibuku dan menjadi anak
lelaki dari bapakku?! Aku hanya ingin menjadi seniman, Tuhan. Aku hanya ingin
menjadi seniman. Aku hanya ingin jadi seniman.”
Tuhan
diam. Tuhan hanya duduk diam di dalam candi batu hitam. Dingin. Hening. Hanya
ada suara angin yang menyentuh dedaunan dan bisik rapal doa yang dipanjatkan
oleh orang-orang lain. Tuhan tidak menjawab Bayu malam hari itu. Namun, hati
Bayu lega. Dia telah menangis dan menggugat Tuhan. Bayu merasa ringan sekarang.
Namun, dia masih belum memiliki jawaban. Bayu memutuskan untuk bermalam di
sana.
Keesokan harinya pagi-pagi benar Bayu mandi membersihkan
badan, lalu menuju ke Gereja Ganjuran tepat di sebelah Candi Hati Kudus Yesus
Ganjuran untuk mengikuti misa harian. Pada pintu masuk gereja dia mencelupkan
tangannya pada wadah tempat air suci, lalu meletakkan tangan di dahi, dada,
bahu kiri, dan bahu kanan. Dia duduk di sudut. Misa belum mulai. Dia lihat ada
Alkitab di sana. Dia mengambil Kitab Suci itu, kemudian membukanya sembarang.
Di sana dia membaca sebuah perikop di dalam Injil Matius, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari
pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang
Engkau kehendaki.”
Bayu seperti ditampar. Seakan-akan dia disadarkan akan
sesuatu hal. Sepulang dari Ganjuran, Bayu menyelesaikan skripsinya, ala
kadarnya. Dia hanya ingin segera lulus saja, memenuhi keinginan bapaknya, lalu pergi.
Skripsinya jadi. Bayu pendadaran. Setelah merevisi di sana-sini, Bayu yudisium.
Dengan enggan Bayu menuruti keinginan bapaknya untuk wisuda. Pada saat wisuda
itulah untuk pertama kalinya Bayu memperkenalkan Devi kepada keluarganya,
terutama bapaknya. Bapaknya nampak senang dengan gadis itu, apalagi mengetahui
dia adalah seorang guru Bahasa Inggris di sebuah SMA swasta Katolik di
Surabaya. Hingga sang bapak dengan tak sabar bertanya,
“Cah ayu, di
Surabaya ikut di paroki apa?”
Devi
terkejut dengan pertanyaan itu, tak bisa menjawab. Kedua mata cokelatnya melirik
Bayu. Bayu dengan enggan menjawab,
“Devi Hindhu, Pak. Dia Orang Bali, Singaraja.”
“Oo...” sahut bapak dingin.
Raut
muka bapak berubah. Senyumnya hilang, tanda tidak suka. Lalu bapak berkata,
“Kami akan segera pulang ke Solo. Kamu langsung balik ke
Surabaya? Jam berapa keretamu? Nanti kami antar ke stasiun.”
***
Setelah lulus kuliah, Bayu pulang ke Solo. Namun, dia
tidak tahu harus melakukan apa di kota tanah leluhurnya itu. Untuk mengisi
dompetnya, bersama seorang drummer
dan seorang vokalis, dia bermain gitar dari satu kafe ke kafe lain. Bapak sebal
melihat Bayu menjalani hidupnya dengan cara seperti itu. Sebenarnya Bayu ingin
ke Surabaya saja, mempertaruhkan hidup. Jika berhasil memenangkannya, luar
biasa. Jika kalah, setidaknya dia tidak akan jauh dari kekasih hatinya itu,
Devi.
“Le, mbok kamu itu kerja yang benar. Sedih
aku lihat anak lanang sarjana kok
ngamen tiap malam.”
“Iya, Pak. Bayu mau nyoba melamar kerja di Surabaya.”
“Ngapain jauh-jauh ke Surabaya, Le? Di Jawa Tengah saja. Coba kamu melamar ke sekolah bruderan di
Semarang itu, siapa tahu ditempatkan di SMA bruderan di Solo. Nanti Bapak
kontak bruder kenalan Bapak di sana.”
“Biar dekat sama Devi, Pak. Bosen LDR terus.”
“Cewek Hindhu itu?
“Kenapa emangnya, Pak?”
“Dia mau dibaptis jadi Katolik?”
“Kenapa kalau dia Hindhu, Pak?”
“Bapak nggak akan merestui kalau dia nggak pindah jadi
Katolik.”
“Bapak ini keterlaluan. Aku ini lho sudah menuruti semua
permintaan Bapak padaku. Aku ingin jadi seniman, kuliah di institut seni, nggak
boleh. Bapak mau aku kuliah di universitas negeri, ya sudah kuturuti ikut tes,
walau gagal. Bapak mau aku kuliah di Bahasa Inggris universitas swasta Katolik,
sudah kuturuti sampai aku punya ijazah dan gelar sarjana pendidikan. Cuma satu
ini aja, Pak, mencintai Devi apa adanya. Aku tu cuma cinta sama dia, Pak!”
“Tahu apa kamu tentang cinta?”
“Apa ya harus jadi Katolik ta, Pak? Dia tetap Hindhu gitu dos
pundi?”
“Sebaik-baiknya dia, secantik-cantiknya dia, kalau nggak
mau ndherek Gusti Yesus, ora! Di paroki kita gadis cantik macam
Devimu itu turah-turah, Le!
“Aku yang akan pindah jadi Hindhu kalau gitu, Pak!”
“Cangkemmu!”
“Aku serius!”
“Wani kamu sama
Bapakmu dhewe? Mentang-mentang sudah
sarjana!”
“Lha kalau Bapak kleru,
apa ya aku nggak berhak mengoreksi?”
“Bocah kurang ajar!”
“Semua keinginan Bapak padaku sudah kulakukan. Cuma satu
ini saja, Pak, keinginanku. Satu ini saja. Aku mboten nyuwun warisan.
Aku mboten nyuwun neka-neka. Aku cuma
nyuwun bisa sama Devi, Pak!”
“Ra kena ditata. Minggat!”
“Oke!”
“Minggat kana sing
adoh! Sepet aku nyawang dhapuranmu!”
“Yoh, dakminggat!
Aku ya sepet nyawang kowe, Pak! Ra kena dijak caturan.”
“Bocah bajingan!”
Sejak saat itu, bapak tidak pernah lagi melihat Bayu.
Leonardus Bayu Seta angkat kaki dari rumah itu tanpa membawa ijazahnya, tanpa
membawa motor pembelian bapaknya, tanpa harta bapaknya. Hari itu adalah hari
pada Bulan Desember, menjelang Natal tiba. Bayu pergi dari Surakarta diiringi hujan
deras yang mendera.
***
“Hari ini aku mau ke Pura, Bay?”
“Ikut.”
“Kenapa, Bay?”
“Boleh?”
“Boleh.”
Devi dan Bayu pergi ke Pura Segara Kenjeran, Surabaya.
Devi membeli bunga dan dupa untuk sembahyang. Awalnya Bayu ragu untuk memasuki
bagian dalam pura, apakah seorang bukan Hindhu seperti dia boleh masuk ke dalam
pura; apakah kehadiran seorang non-Hindhu seperti dia akan mengotori kesucian
sebuah pura. Akan tetapi, dia ingin melihat Devi berdoa, dia ingin melihat
Tuhan di sana. Apakah Tuhan di Pura Segara akan sama sehening Tuhan di Candi
Ganjuran? Di dekat pintu pura, Devi mengambil air suci dari sebuah gentong
dengan ambengan, lalu memercikkannya
ke kepalanya tiga kali. Setelah melakukan itu, Devi memandangi Bayu. Bayu
tertegun sesaat, lalu segera memahami bahwa dia diizinkan memasuki pura. Oleh
karena itu, dalam diam Bayu menunduk, dan Devi memercikkan air suci itu tiga
kali ke kepala Bayu.
Bayu dan Devi melepas alas kaki mereka, lalu masuk ke
bagian dalam pura itu. Bayu memilih tempat yang teduh untuk bersila, sebab hari
itu matahari bersinar cerah. Dari kejauhan itu dia memandangi Devi sembahyang,
membakar dupa, menyajikan bunga, dan merapal mantra dari satu padmasari ke padmasari
yang lain, hingga terakhir ke padmasana. Seusai melakukan ritual itu, Devi
bersila di sebelah Bayu, memejamkan mata, lalu kembali merapalkan mantra. Bayu
mencoba memejamkan mata pula, hening, tenang, damai. Bayu merasa tenteram di
tempat itu. Tuhan di Pura Segara ternyata memang sehening Tuhan di Candi
Ganjuran. Tuhan yang hening itu adalah Tuhan yang siap mendengarkan segala
puja-puji, syukur, dan juga tangis lara kita. Tuhan yang hening itu sekaligus
mengajak kita untuk juga menjadi hening, tenang, sampai pada titik di mana kita
bisa ‘mendengar’ suara-Nya jauh di dalam sanubari. Tuhan memang hening. Mungkin
oleh karena itu Tuhan membutuhkan para nabi dan resi untuk menyuarakan
seruan-seruan profetis kepada manusia. Tuhan memang hening. Mungkin oleh karena
itu kita, manusia, perlu untuk menjadi hening pula, supaya mampu mendengarkan
bisik halus sabda-Nya. Dan, dalam keheningan Pura Segara itu, Bayu seakan
mendengarkan suatu bisikan, bisikan yang membuatnya yakin untuk melakukan suatu
keputusan.
Seusai sembahyang, mereka berdua makan siang di suatu
sudut Kota Surabaya. Mereka masih terbawa suasana damai di dalam pura tadi,
sehingga belum berbicara satu dengan yang lainnya. Namun, ada satu perihal yang
sudah menggedor-gedor tenggorokan Bayu untuk diucapkan. Bayu sudah tak tahan
lagi untuk tidak mengatakannya.
“Dev, orang tuamu nggak punya anak lelaki, ‘kan?”
“Iya. Adik lelakiku mati dalam kandungan.”
“Aku bersedia nyentana.”
“Hush. Ngawur kamu!”
“Aku bersedia jadi Hindhu.”
“Terus orang tuamu bagaimana?”
“Aku sudah ditundhung.
Mungkin sudah tidak diakui anak.”
“Kamu akan ikut keluargaku dan jadi pengurus pura
keluarga di Singaraja sana kalau nyentana.”
“Iya. Aku sudah paham itu.”
“Enggak!”
“Kok?”
“Aku nggak mau kamu membuang semua yang kamu miliki.”
“Aku hanya ingin sama kamu.”
“Kamu sudah bersamaku, di sini, di Surabaya ini. Nggak
cukup?”
“Aku ingin kita berdoa kepada Tuhan yang sama. Kamu nggak
akan mau jadi Katolik. Maka, aku jadi Hindhu saja. Toh dulu nenek moyangku
pasti juga Hindhu.”
“Yakin kamu tidak akan pernah rindu menyantap Tubuh dan
meminum Darah Kristus?! Katakan padaku kamu tidak akan pernah rindu itu!
Yakinkan aku!”
Devi
mendesak. Bayu diam. Senyap.
“Kita kawin beda agama saja,” sahut Devi tiba-tiba.
“Mana bisa kawin model gitu di negara agamis macam negara
kita ini?”
“Bisa.”
“Sok tahu!”
“Kata pastor kepala sekolah di SMA-ku bisa.”
“Bisa?”
“Kita kawin di Gereja Katolik di Singaraja sana saja.
Kita minta dispensasi disparitas cultus,
kita kawin beda agama. Tapi harus di gereja. Kita urus di Paroki Santo Paulus
Singaraja saja. Kita pulang ke rumahku. Sebab, aku pun harus pamit kepada
leluhurku untuk kawin sama kamu.”
“Kok kamu tahu hal itu, sementara aku yang Katolik ini
malah nggak paham sama sekali?”
“Karena aku pun pernah terpikir untuk minta dibaptis.
Namun, aku tidak bisa. Aku lahir sebagai seorang Hindhu. Ketika kecil aku
diajari sembahyang, aku diajari sembahyang cara Hindhu. Seumur hidup aku sembahyang,
aku sembahyang cara Hindhu. Mati pun aku akan tetap Hindhu. Tapi, di saat yang
sama, aku juga tidak bisa hidup tanpamu. Oleh sebab itu, aku bertanya kepada pastor
kepala sekolahku itu. Dia malah melarangku menjadi seorang Katolik, ‘Jadi
Katolik itu susah. Kamu harus belajar dulu lama dan ujian sebelum minta baptis.
Tidak usah.’”
“Pastor macam apa itu yang melarang seseorang minta
dibaptis?”
“Pastor yang paham bahwa aku tidak pernah mengimani Yesus
sebagai Tuhan dan Juruselamat. Pastor yang paham bahwa aku minta dibaptis bukan
karena iman, tapi semata agar bisa kawin sama kamu. ‘Kalian mengurus kawin beda
agama saja, disparitas cultus. Tapi
harus di gereja, agar perkawinan kalian sah juga bagi Gereja Katolik, dan
kekasihmu itu masih boleh menerima komuni, sementara kamu masih tetap Hindhu,’
kata pastor.”
“Oke. Kapan kita ke Singaraja?”
“Liburan semester ini. Kamu tidak menghubungi
keluargamu?”
“Gampanglah itu, besok saja. Jadi, do you want to marry me?”
“I do.”
Leonardus Bayu Seta dan Ni Luh Anjani Devi kawin di
Singaraja. Dari keluarga Bayu, hanya adik perempuan Bayu yang menghadiri
peristiwa sakral itu; bapak masih murka terhadap Bayu, sementara ibu tidak
berani menentang. Pastor paroki Santo Paulus Singaraja mengambil kebijakan
pastoral tertentu mengenai keadaan Bayu ini. Teman-teman Bayu sewaktu kuliah di
Jogja datang membantu mempersiapkan upacara pemberkatan dan menjadi saksi
perkawinan. Sebelum upacara pemberkatan di gereja, Devi dan Bayu sembahyang di
pura keluarga bersama segenap sanak-saudara Devi, ayah-ibunya, dan seorang pedanda.
Devi harus memohon berkat restu dan pamit kepada leluhur.
|
Pura Segara Kenjeran. Dokumen pribadi. |
***
“Halo. Wuk,
kamu sudah bertemu masmu?” kata ibu dari seberang telepon.
“Sudah, Bu. Ini sudah bertemu dia di stasiun.”
“Segera diajak ke sini.”
“Iya, Bu. Sebentar. Kami sedang menanti hujan reda.”
Telepon terputus. Cuaca membuat sinyal ponsel menjadi
buruk. Hujan lebat mendera Surakarta malam hari itu. Malam itu malam tanggal 23
Desember, malam sebelum Malam Natal. Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali
Bayu menginjakkan kaki di Surakarta. Bayu hampir tidak lagi mengenali kota
tanah leluhurnya itu.
Hujan tinggal gerimis. Perempuan itu mengantarkan Bayu
pulang ke rumah mereka. Ada perasaan aneh menyelimuti dada Bayu. Tak bisa dipungkiri,
dia rindu kota ini. Dia rindu nasi liwet di pagi hari. Dia rindu babi kuah
Kampung Sewu pada siang hari. Dia rindu susu segar di Sriwedari pada malam
hari. Dia rindu hik di pinggir-pinggir jalan. Yang paling dia rindukan dari hik
itu adalah teh ginastel-nya. Sudah sepuluh
tahun dia tidak lagi meminum teh Solo; itu yang dia rindu. Teh Surabaya lain,
rasanya lain. Bagi lidah Solonya, teh Surabaya seperti sirup saja. Bayu juga
rindu skubidu goreng garing, tapi dia tidak berani mengatakannya, takut
diprotes adik perempuannya itu yang pecinta asu.
“Sekarang Mas ketemu bapak dulu. Besok kuantar ngiras di manapun Mas mau. Mas Natalan
di Solo, ‘kan?”
“Iya. Bapak di mana?”
“Di kamar. Langsung masuk saja.”
Bayu menuju kamar bapak. Dibukanya pintu kamar itu
perlahan. Di hadapannya terbaring lelaki tua menanti maut menjemputnya. Lelaki
tua itu adalah lelaki yang kehendaknya selalu dipatuhi Bayu selama dua puluh
tahun pertama hidupnya. Lelaki tua itu adalah lelaki yang menghendaki Bayu
kawin dengan seorang perempuan Katolik. Lelaki tua itu adalah lelaki yang
mengusir minggat Bayu sepuluh tahun
lalu. Lelaki tua itu adalah lelaki yang sama sekali tidak sudi menghadiri
upacara perkawinan Bayu dengan Devi. Lelaki tua itu adalah bapak Bayu. Kini dia
hanya bisa terbaring. Kanker hampir mengalahkannya, mengonsumsi habis tubuhnya.
Kematian adalah satu-satunya jalan pembebasannya dari penderitaan itu. Namun,
lelaki itu menanti kematian dengan enggan, sebab ada satu hal yang ingin lelaki
itu lakukan sebelum Tuhan benar-benar memanggilnya. Lelaki itu menanti. Dia
menantikan sebuah kedatangan. Dia menantikan kedatangan anak lanang-nya yang telah dia usir sepuluh
tahun lalu. Dia menanti saat-saat itu. Dia ingin bertemu kembali dengan anak lanang-nya itu, memeluknya, dan meminta
maaf kepadanya.
“Apurana Bapakmu
iki ya, Ngger... .”
“Kula sudah
lama memaafkan Bapak.”
“Kowe mrene karo
sapa, Ngger?”
“Bojo kula di
luar, Pak. Dia bersama anak kami.”
“Anak?”
“Cucu Bapak.”
“Putuku? Timbalana
mrene, Ngger.”
Bayu
memanggil anaknya masuk ke kamar itu. Bocah tujuh tahun itu kebingungan. Dia
tidak mengenali lelaki tua yang terbaring sakit itu.
“Siapa namanu, Cah
Bagus?”
“Sanjaya”
“Sanjaya?”
“Iya.”
“Sanjaya, aku kakekmu.”
“Kakek?”
“Iya, aku kakekmu, eyang
kakungmu.”
“Iya, Kakek.”
“Kelas berapa, Ngger?”
“Dua.”
“Kamu senang ketemu Kakek, Sanjaya?”
Sanjaya
diam. Sebenarnya bocah itu ketakutan. Orang dewasa saja pasti miris melihat
kondisi bapak. Sanjaya menatap ayahnya, Bayu membalas tatapan anaknya itu lalu
tersenyum, memberikan keberanian.
“Sanjaya senang, Kek.”
“Bayu,” kata lelaki tua itu kepada anak lelakinya.
“Nggih, Pak?”
“Sanjaya sudah kamu baptis?”
“Dereng.”
“Belum?”
“Biar dia menentukan sendiri kelak ketika dia sudah
dewasa. Oleh sebab itulah dia kula
beri nama ‘Sanjaya’. Jika kelak dia memilih agama ibunya, nama ‘Sanjaya’ akan
terdengar cukup Hindhu di telinga orang-orang. Namun, jika kelak dia meminta
dibaptis, dia bisa memakai nama itu sebagai nama baptis.”
“Nama baptis Sanjaya?”
“Seorang beato, martir dari Muntilan.”
“Oh. Romo Sanjoyo.”
“Inggih.”
Pada malam hari itu, suatu malam pada Bulan Desember, tiga
lelaki dari tiga generasi berbeda bertemu untuk yang pertama sekaligus yang
terakhir kalinya. Beberapa menit kemudian Bayu menggendong Sanjaya berjalan
keluar kamar. Bayu menangis, Sanjaya kebingungan. Melihat itu, ibu memeluk adik
perempuan Bayu; mereka pun menangis. Devi jadi haru. Hujan telah reda. Malam jadi
damai. Tapi tidak ada bintang-bintang gemerlap, sebab mendung masih
menggantung. Hujan yang reda digantikan isak tangis yang pecah mendera. Besok
malam adalah Malam Natal. Namun, malam ini sebuah kedatangan yang dinantikan
bapak telah tiba. Bapak pergi selamanya, setelah berdamai dengan anak lanang-nya. Malam ini malam damai, tapi
tiada bintang-bintang gemerlap. Hujan air mata mengantar kepergian bapak
menghadap Tuhan yang tetap hening melihat peristiwa itu.
Malang, masa adven, 20 Desember 2019
Padmo Adi
Kang, ijin adaptasi nggo pentas entuk ra??
ReplyDeleteIno
Entuk banget, No. Silakan. Dengan senang hati.
DeleteN.B.: Yen kowe butuh ngobrol-ngobrol luwih adoh, japrinan wae.
Wah wah wah... Makjleb...
ReplyDelete