PERSAHABATAN SEJATI MERETAS SEKAT-SEKAT IDENTITAS AGAMA
Sebuah Refleksi dari Seorang Minoritas Katolik di Tengah
Mayoritas Muslim di Jawa Timur*
oleh: Padmo Adi
*Tulisan ini menjadi salah satu bab dalam buku Sekolah Keragaman, Wargakarta, Universitas Brawijaya yang berjudul "Sekolah Keragaman: Merefleksikan Kebhinekaan, Menghayati Inklusivitas, Merayakan Perbedaan", dan saat ini sedang dalam proses penerbitan. Tulisan ini saya muat di sini untuk materi Modul Nusantara UB 2022 atas seizin editor, Manggala Ismanto.
Pada tanggal 09 April 2022 saya sekeluarga (saya, istri,
dan kedua anak saya) dinyatakan positif terinfeksi SARS-CoV-2. Kami menderita
Covid-19. Kami harus menjalani isolasi mandiri di rumah Singosari selama 10
hari. Segera saja kami memberi kabar kepada orang-orang yang perlu kami beri
tahu: keluarga kami di Solo, Ibu Ismatul Khasanah selaku ketua Satgas Covid-19
FIB UB, dan kepada ketua RT kami. Kami segera menyiapkan segala perlengkapan
dan logistik yang bisa kami upayakan untuk bertahan hidup selama 10 hari
tersebut, sebab tidak ada dari antara saya dan istri yang bisa pergi keluar
rumah tanpa membahayakan orang lain. Kami pun juga mengumumkan melalui media
sosial kami masing-masing, supaya orang-orang yang berkontak erat dengan kami
selama 3-5 hari ke belakang melakukan langkah-langkah yang diperlukan.
Selama masa isolasi itu, saya tidak dapat bekerja dengan
baik. Tubuh ini seperti remuk rasanya. Tulang-tulang seperti dilepaskan dari
persendian. Seakan-akan Tuhan telah pergi meninggalkan kami berempat sendiri di
rumah kontrakan di Singosari itu. Eli...
Eli... lama sabakhtani?! Ke mana Tuhan di saat-saat kami paling menderita
demikian. Dua tahun berusaha melindungi diri dan keluarga—menunda pulang ke
Solo, menghindari kerumunan, tetap di rumah saja—akhirnya kami semua terinfeksi
juga. Yang lebih menjengkelkan adalah bahwa kami terinfeksi setelah mau tidak
mau harus pulang ke Solo untuk mengurus administrasi pajak dan balik nama
kendaraan. Ya, walaupun sudah tiga tahun kami hidup di Malang, KTP dan segala
surat legal administrasi kami masih tercatat di Surakarta. Apakah Tuhan sedang
bercanda? Atau, akan ada sesuatu yang Tuhan tunjukkan pada saya oleh karena
sakit ini?
Hancur sudah rencana kami untuk dapat merayakan Misa Tri
Hari Suci secara offline di Gereja
Paroki Singosari, setelah selama dua tahun hampir selalu kami misa secara online melalui streaming youtube. Masih teringat di benak saya, dua tahun lalu
ketika saya masih indekos sendiri di Kelurahan Balearjosari, Blimbing, Malang,
saya Misa Tri Hari Suci seorang diri secara streaming
youtbe dari Keuskupan Agung Semarang. Wabah ini sempat membuat saya
terpisah selama tiga bulan tidak dapat berjumpa dengan keluarga saya di
Sukoharjo, hingga anak bungsu saya tidak dapat mengenali saya sebagai bapaknya.
Wabah ini juga telah merenggut banyak nyawa, juga nama-nama yang saya kenal
baik. Pada streaming misa itu, Romo
Andreas Tri Adi Kurniawan, MSF—atau yang secara akrab kami panggil Romo
Kadir—guru saya di Seminari Berthinianum Salatiga, memberi kata pengantar dan
penguatan untuk dapat menyintas wabah ini. Romo yang lucu dan baik hati itu kini
telah beristirahat abadi bersama Allah Bapa di surga, menjadi salah satu nama
pada daftar korban meninggal wabah virus corona ini.
Dulu di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta saya tidak pernah
begitu merasa menjadi minoritas, sebab hampir selalu saya berada di lingkungan
mayoritas Katolik. Mulai dari TK hingga S2 saya jalani di lembaga pendidikan
Katolik. Kini, di Malang, di Singosari, Jawa Timur, saya merasa sendiri,
bersama istri dan kedua anak lelaki kami. Bahkan, kami masih merasa asing
dengan paroki tempat kami tinggal. Tambah terasing karena hampir tidak pernah
dapat mengikuti perayaan misa offline di
Gereja; hanya misa streaming youtube
melulu setiap Minggu. Sebenarnya ada seorang kakak sepupu dan keluarganya;
mereka Muslim, dan saya merasa hubungan kami tidak begitu dekat. Apalagi, kini
kami berempat menderita terjangkit wabah Covid-19 ini!
Namun, sepertinya benar, Tuhan Allah tengah menyiapkan
saya untuk menyaksikan suatu peristiwa sederhana, yang begitu berkesan dalam
hati saya. Saat kami menjalani isolasi mandiri itu bertepatan dengan Bulan
Ramadhan, kala umat Muslim di seluruh dunia berpuasa, termasuk rekan-rekan
kerja saya di FIB UB dan tetangga kanan-kiri saya. Di tengah perasaan kesepian,
sendiri, menderita, dan bahkan seakan-akan ditinggalkan Allah, tangan-Nya yang
Agung menjamah kami lewat kolega-kolega di FIB UB dan tetangga-tetangga saya
itu. Rekan-rekan kerja seangkatan saya—yang mayoritas Muslim itu—patungan,
menyisihkan rezeki mereka, untuk membantu kami secara finansial menyintas
derita ini. Ada pula senior di prodi—Dr. Ismi Prihandari—yang meng-GoSend-kan
vitamin dan buah-buahan. Juga tetangga-tetangga saya—yang juga mayoritas
Muslim—hampir tiap hari menjelang buka puasa, mengetuk pintu rumah kami
mengirimkan makanan, kudapan, bahkan suplemen, dan logistik lainnya. Memang ada
juga sahabat saya dari Jakarta, Romo Alexander Koko, S.J., mengirimkan sekardus
besar obat-obatan dan vitamin; lalu teman teater saya, Bijak Ampuni,
mengirimkan makanan beku dari Gunung Kidul; dan keluarga saya di Solo
mengirimkan vitamin (semuanya dari mereka sangat saya syukuri); akan tetapi,
uluran kasih persahabatan dari tetangga dan rekan-rekan kerja yang berbeda iman
dan agama itu lebih menyentuh dan membukakan mata saya, bahwa meskipun saya
minoritas, saya tidak berjuang sendiri di tanah rantau ini.
|
Saya bersama kakak sepupu saya, Padma Kuntjara. Dokumen pribadi. |
Persahabatan sejati yang melampaui sekat perbedaan agama
baru benar-benar saya rasakan di Malang, Jawa Timur ini. Memang benar latar
belakang keluarga besar bapak saya terdiri dari beragam iman, agama, dan
kepercayaan. Budhe nomor 1, pakdhe nomor 2, dan bapak saya adalah
Katolik. Konon, pakdhe nomor 5 adalah
simpatisan Katolik—saya ngobrol dan curhat tentang mengapa saya masuk
seminari dan akhirnya keluar njeblink,
ya dengan pakdhe nomor 5 ini, yang
dapat memahami keputusan hidup dan iman saya itu. Sementara, budhe nomor 2, 4, 6, dan 7, serta om
nomor 9, dan bulik nomor 10 adalah
Muslim. Sedikit banyak saya tahu kisah perjalanan iman mereka semua hingga
akhirnya memeluk agama mereka masing-masing itu. Semuanya mendapatkan imannya
ketika dewasa. Bapak saya dibaptis waktu SMP. Ketika saya kecil, saya bertanya
pada bapak, mengapa keluarga Eyang Padmo
Soedarjo tidak satu agama, ada yang Islam dan ada yang Katolik. Bapak saya
waktu itu hanya menjawab bahwa eyang
adalah seorang Pancasilais. Baru setelah saya sedikit lebih besar, saya paham
bahwa eyang pantang beragama. Konon, eyang Daryo adalah seorang yang sakti.
Dia adalah veteran ’45; dulu menjadi bagian dari pasukan Ignatius Slamet
Riyadi. Kesaktian eyang itu
mengharuskannya pantang memeluk satu agama pun, meskipun eyang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kami senantiasa
merayakan Hari Raya Idul Fitri di Kauman, rumah eyang. Saya tidak berani mengklasifikasikan eyang sebagai seorang Kejawen, sebab tidak ada keluarga yang
bersaksi demikian. Menjelang wafatnya, bapak bertanya kepada Eyang Daryo, hendak memeluk agama apa. Eyang memilih memeluk agama Islam.
Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, eyang
muntah-muntah, lalu meninggal. Konon, kupu-kupu putih yang hinggap di tembok
rumah Kauman jatuh kala eyang meninggal
itu. Eyang Siti Noniyah, istrinya,
lebih dramatis lagi dalam urusan beragama. Seumur hidupnya tidak menjalankan
satu ritus agama apapun. Menjelang sakratul mautnya, adik-adiknya yang Katolik
datang membaptisnya darurat. Namun, anak-anak perempuannya, budhe dan bulik, tentu saja tidak terima. Eyang
Non, begitu kami memanggilnya, tetap dipocong. Namun, di balik kain kafan
itu, eyang menggenggam rosario.
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa keluarga kami yang memiliki dinamika iman yang dramatik (untuk tidak mengatakan "tidak jelas") itu tinggal di sebuah ndalem tua di Kampung Kauman, Surakarta, Jawa Tengah. Seperti layaknya namanya, "Kauman", tentu saja kampung itu terdiri dari mayoritas kaum muslim. Lokasinya ada di sebelah utara Masjid Agung, Solo. Pada kampung itu terdapat beberapa sekolah Islam, seperti misalnya SD Muhammadiyah. Kauman menjadi kampung tempat masa kecil bapak saya. Masa kecil saya juga banyak saya lalui di Kauman. Sering kali sepulang dari sekolah SD Pangudi Luhur Purbayan, alih-alih pulang ke rumah Kleca, saya pulang ke Kauman. Jarak SD Pangudi Luhur Purbayan ke Kauman tentu jauh lebih dekat dibandingkan dengan ke Kleca. Apalagi, di Kauman ada Eyang Daryo, di kauman juga ada Mbak Dita dan Mas Kuntjara yang kurang lebih seusia dengan saya, dan tentu saja di Kauman ada mainan serta majalah Bobo milik Mbak Dita dan Mas Kuntjara. Di Kauman inilah saya yang masih SD itu pertama kalinya berdialog lintas iman dengan tetangga, kawan bermain. Kami berdiskusi tentang bagaimana kami mengucapkan nama "Allah". Sebagai seorang Katolik, tentu saja saya menyebut Tuhan dengan "Allah" juga, tetapi tidak dengan cara yang sama dengan cara orang Muslim menyebut "Allah". Kami mengucapkannya dengan "allAh", bukan "allOh". Bayangkan saja anak-anak SD berdialog agama semacam itu di tengah perkampungan yang (hampir) 100% penduduknya beragama Islam!
Ada sebuah kisah yang kemudian menggedor-gedor kesadaran saya, sehingga membuat saya semakin menyadari bahwa agama saya dan Mas Kuntjara itu berbeda. Pada suatu hari Sabtu, saya pulang SD, saya pulang ke Kauman. Bapak membeli lauk untuk makan siang kami. Bapak membeli lauk yang sangat spesial sekali, sangat enak, sangat khas di Kota Solo. Bapak membeli Babi Kuah yang dijual di depan Gereja Purbayan. Tentu saja saya sangat girang sekali. Saya membayangkan akan makan banyak. Kebahagiaan ini ingin saya bagikan kepada saudara-saudara saya yang ada di Kauman, pikir saya. Sesampainya di Kauman, saya melihat Mas Kuntjara sudah pulang sekolah. Dengan polos saya mengajaknya makan, "Mas... ayo ikut makan." Segera saja saya dibentak oleh bapak, "Hush... tidak usah mengajak Mas Kuntjara!" Tentu saja saya kaget... bapak jahat sekali! Ada makanan selezat ini tidak boleh dibagikan kepada saudara?! Pelan-pelan saya menyadari bahwa ternyata Mas Kuntjara memang tidak boleh memakan makanan enak yang bapak beli itu. Pelan-pelan saya menyadari bahwa agama Mas Kuntjara berbeda dengan agama saya, dan agama Mas Kuntjara melarangnya memakan daging babi, sebab haram. Saya, seorang anak SD waktu itu, dibenturkan pada sebuah kenyataan bahwa meskipun kami berbagi darah dan trah yang sama, saya dan Mas Kuntjara menyebut nama Tuhan dengan cara yang berbeda, dan memiliki aturan mana yang boleh dan tak boleh dimakan yang berbeda pula. Selain kisah yang saya ceritakan di atas, sebenarnya ada banyak lagi kisah dinamika lintas iman yang kami alami di Kauman. Semuanya penuh liku dan bahkan dramatis!
Kisah
perjalanan iman keluarga kami yang penuh liku dan drama itu membuat pengalaman
beragama saya (Katolik) di tengah pengalaman agama lain (Islam), khususnya
bersama saudara-saudara sepupu saya, menjadi biasa saja, tidak mendalam, dan
banal. Saya tidak menyadari, bahwa pengalaman itu membuat saya enggan menatap, merefleksikan,
bahkan membahasnya. Mungkin bagi orang Solo, berjumpa dengan orang lain yang
berbeda agama (dan juga berbeda etnis) itu hal yang biasa saja dan tidak
istimewa sama sekali. Akan tetapi, di balik “biasa” itu, ternyata terdapat luka
dan trauma yang direpresi! Mungkin itu pula yang membuat saya sering
menyembunyikan nama “Yohanes” yang adalah nama depan sekaligus nama baptis
saya. Saya harus meminta maaf kepada Mas Manggala Ismanto, yang bertanggung
jawab mengompilasi tulisan ini, sebab tulisan autoetnografi saya ini tidak
kunjung dapat saya selesaikan, sebab ternyata saya harus berhadap-hadapan
dengan kisah sejarah beragama keluarga besar saya yang sungguh gelap, suram,
penuh liku, dramatis, dan tidak jarang meninggalkan luka serta enigma.
Saya baru berani menatap kisah yang sedikit banyak saya
represi itu secara detail setelah pada hari ini saya mengikuti halalbihalal
perumahan tempat saya mengontrak. Semua diundang, semua berkumpul, semua
bersalam-salaman, dan semua makan siang bersama dalam suasana suka cita. Tidak
hanya pemeluk Islam saja, kami yang Katolik dan Protestan juga turut serta
diundang dan diterima layaknya saudara sendiri yang telah bersama-sama sekian
lama. Segera saya terngiang lagi akan pengalaman dikirimi makan malam oleh Bu
Hasan sekeluarga yang pada waktu itu tengah menjalani ibadah puasa, pengalaman dikirimi
madu murni oleh Pak Nur—seorang polisi—yang selalu taat menjalankan ibadah
salat, pengalaman dikirimi kudapan oleh Ibunya Belino—Ibu dari anak yang sering
bermain dengan anak-anak saya, pengalaman diberi gas melon full oleh Bu Vivi kala kami kehabisan gas sewaktu isolasi mandiri,
juga pengalaman ditransfer sejumlah uang oleh rekan-rekan kerja seangkatan
saya, dan dikirimi vitamin oleh senior saya di prodi. Pengalaman-pengalaman
tersebut membuka mata saya bahwa ketika saya berada di tengah-tengah mereka,
bersama-sama dengan mereka, mereka tidak pertama-tama melihat identitas agama,
melainkan melihat saya sebagai persona, seorang pribadi, seorang sesama, bahkan
seorang sahabat.
Di tengah persahabatan yang meretas sekat-sekat identitas
agama itulah kemudian kita bisa bersama-sama membangun dan menciptakan sesuatu
yang positif untuk kita semua (untuk tidak menjadi muluk mengatakan “bangsa dan
negara”). Di tengah persaudaraan di atas perbedaan agama kami, saya dan Mas Kuntjara beberapa kali berkolaborasi secara positif menghasilkan karya-karya kecil. Di tengah persahabatan yang meretas sekat-sekat identitas agama
itulah kita bisa hidup berdampingan dengan penuh rasa toleransi. Menjadi
toleran tidak sama dengan merelativisasi kebenaran agama kita masing-masing,
apalagi dengan mencoba mempraktekkan ritus-ritual agama orang lain (dengan
hasrat caper)—mencampuradukkannya
begitu saja. Menjadi toleran juga tidak sama dengan diam saja menganggap
seolah-olah perbedaan itu tidak pernah ada, tidak perlu dibicarakan, dan tidak
perlu direfleksikan, yang penting jalan terus bersama-sama. Tidak demikian!
Menjadi toleran berarti kita mencoba mengerti dan memahami kebenaran agama
lain, tanpa merelativisasi kebenaran agama kita. Menjadi toleran berarti mampu
memahami dan menerima kebenaran liyan sembari mampu membahasakan dan tidak
kehilangan kebenaran diri, tanpa mencampuradukkan kebenaran-kebenaran tersebut.
Menjadi toleran berarti bersikap penuh persahabatan dan penuh penerimaan
terhadap mereka yang berbeda dengan kita, tanpa kita kehilangan jati diri dan
kebenaran diri. Menjadi toleran berarti kita mampu duduk bersama-sama (mungkin
juga dengan ngopi dan udud bersama), membicarakan diri kita
masing-masing, ngobrol, membahasakan
diri apa adanya, sekaligus juga mampu mendengarkan dan memahami sahabat kita
itu apa adanya, untuk kemudian saling menerima jati diri masing-masing,
sehingga bersama-sama dapat menjalani tugas perutusan bersama, membangun
kemanusiaan yang lebih manusiawi, saling memanusiakan manusia. Singkatnya,
menjadi toleran berarti mampu saling menjadi sahabat sejati dalam kemanusiaan,
tanpa kehilangan kesejatian diri—kebenaran diri.
|
Ndalem Kauman, Surakarta. Di rumah inilah Eyang Daryo dan Eyang Non tinggal. Rumah ini adalah rumah masa kecil bapak saya. Masa kecil saya juga banyak saya habiskan di rumah ini, sehingga saya memiliki ikatan memori primordial dengannya. Di dalam rumah inilah pengalaman pertama saya berjumpa dengan saudara setrah yang berbeda agama terjadi; saya memiliki kesadaran bahwa saya adalah seorang Katolik, sementara saudara saya Islam, tetapi tentu saja kami tetap bersaudara bahkan secara produktif menghasilkan beberapa karya seni. Foto oleh Padmi Dita. |
Sekarang saya bisa memaknai kisah penuh liku perjalanan
iman keluarga besar saya tersebut dengan pandangan baru, bahwa sesuram apapun
kisah itu, adalah kisah dramatis luar biasa yang saya syukuri; saya adalah
bagian integral dari peristiwa unik tersebut. Saya bisa memaknai secara baru
hubungan saya dengan saudara-saudara sepupu saya yang beragama Katolik dan
terutama dengan yang beragama Islam: Mas Tri Sutrisno—satu-satunya saudara
sedarah dengan saya di Malang ini, Mas Padma Kuntjara—yang dengannya saya
senantiasa berdialog dan berbagi kegelisahan tentang apapun, Mbak Padmi
Dita—yang perjalanan iman dan beragamanya tidak kalah dramatis dari kisah
leluhur kami, Mbak Damayanti—seorang Muhammadiyah dan guru SD Islam, dan
saudara-saudara lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Saya juga
mensyukuri perjumpaan saya dengan para tetangga di Singosari, yang mayoritas
Muslim; mereka menerima kami apa adanya bahkan tanpa khawatir menyediakan
logistik bagi kami tatkala kami isolasi mandiri. Saya juga bergembira bisa
bersahabat dengan rekan-rekan kerja—kolega saya di FIB UB; bersama-sama kami
melakukan hal-hal baik, bahkan hal-hal remeh, juga saling berbagi dalam suka
dan duka tanpa tersekat identitas agama masing-masing. Tuhan Allah tidak
meninggalkan saya, juga di saat sakit dan menderita. Tuhan Allah menempatkan
saya, seorang Katolik, di tengah-tengah para sahabat Muslim, untuk menunjukkan
Kemahakuasaan dan Kemahabesaran-Nya, sehingga kami dapat bersama-sama berusaha
semakin menjadi manusia yang menjalani perutusan-Nya dengan penuh rahmat dan
suka cita.
Singosari, 15 Mei 2022
Comments
Post a Comment