TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA

TUANG AIR MATAMU SECUKUPNYA   Seorang lelaki mengenakan kostum Garuda tengah beristirahat dengan sebat. Kepada para lelaki, menangislah jika harus menangis, sebab hidup ini sering kali tragis. Tuang air matamu secukupnya, lalu kemasi dirimu kembali, selesaikanlah hidupmu lagi.   Kehilangan demi kehilangan, kekalahan demi kekalahan, dari satu luka ke luka lain, kita telan kepedihan-kepedihan. Sering kali tak tertahankan. Sering kali menghancurkan.   Letakkan. Lepaskan. Ungkapkan. Tidak semua harus dipanggul! Pilihlah yang berharga. Pilihlah yang bermakna.   Lewat derita kita rangkai kata jadi cerita balada legenda abadi bersama semesta!   Malang, 04 Oktober 2024 Padmo “Kalong Gedhe” Adi

PERSAHABATAN SEJATI MERETAS SEKAT-SEKAT IDENTITAS AGAMA

 PERSAHABATAN SEJATI MERETAS SEKAT-SEKAT IDENTITAS AGAMA

Sebuah Refleksi dari Seorang Minoritas Katolik di Tengah Mayoritas Muslim di Jawa Timur*

oleh: Padmo Adi


*Tulisan ini menjadi salah satu bab dalam buku Sekolah Keragaman, Wargakarta, Universitas Brawijaya yang berjudul "Sekolah Keragaman: Merefleksikan Kebhinekaan, Menghayati Inklusivitas, Merayakan Perbedaan", dan saat ini sedang dalam proses penerbitan. Tulisan ini saya muat di sini untuk materi Modul Nusantara UB 2022 atas seizin editor, Manggala Ismanto.

Pada tanggal 09 April 2022 saya sekeluarga (saya, istri, dan kedua anak saya) dinyatakan positif terinfeksi SARS-CoV-2. Kami menderita Covid-19. Kami harus menjalani isolasi mandiri di rumah Singosari selama 10 hari. Segera saja kami memberi kabar kepada orang-orang yang perlu kami beri tahu: keluarga kami di Solo, Ibu Ismatul Khasanah selaku ketua Satgas Covid-19 FIB UB, dan kepada ketua RT kami. Kami segera menyiapkan segala perlengkapan dan logistik yang bisa kami upayakan untuk bertahan hidup selama 10 hari tersebut, sebab tidak ada dari antara saya dan istri yang bisa pergi keluar rumah tanpa membahayakan orang lain. Kami pun juga mengumumkan melalui media sosial kami masing-masing, supaya orang-orang yang berkontak erat dengan kami selama 3-5 hari ke belakang melakukan langkah-langkah yang diperlukan.

Selama masa isolasi itu, saya tidak dapat bekerja dengan baik. Tubuh ini seperti remuk rasanya. Tulang-tulang seperti dilepaskan dari persendian. Seakan-akan Tuhan telah pergi meninggalkan kami berempat sendiri di rumah kontrakan di Singosari itu. Eli... Eli... lama sabakhtani?! Ke mana Tuhan di saat-saat kami paling menderita demikian. Dua tahun berusaha melindungi diri dan keluarga—menunda pulang ke Solo, menghindari kerumunan, tetap di rumah saja—akhirnya kami semua terinfeksi juga. Yang lebih menjengkelkan adalah bahwa kami terinfeksi setelah mau tidak mau harus pulang ke Solo untuk mengurus administrasi pajak dan balik nama kendaraan. Ya, walaupun sudah tiga tahun kami hidup di Malang, KTP dan segala surat legal administrasi kami masih tercatat di Surakarta. Apakah Tuhan sedang bercanda? Atau, akan ada sesuatu yang Tuhan tunjukkan pada saya oleh karena sakit ini?

Hancur sudah rencana kami untuk dapat merayakan Misa Tri Hari Suci secara offline di Gereja Paroki Singosari, setelah selama dua tahun hampir selalu kami misa secara online melalui streaming youtube. Masih teringat di benak saya, dua tahun lalu ketika saya masih indekos sendiri di Kelurahan Balearjosari, Blimbing, Malang, saya Misa Tri Hari Suci seorang diri secara streaming youtbe dari Keuskupan Agung Semarang. Wabah ini sempat membuat saya terpisah selama tiga bulan tidak dapat berjumpa dengan keluarga saya di Sukoharjo, hingga anak bungsu saya tidak dapat mengenali saya sebagai bapaknya. Wabah ini juga telah merenggut banyak nyawa, juga nama-nama yang saya kenal baik. Pada streaming misa itu, Romo Andreas Tri Adi Kurniawan, MSF—atau yang secara akrab kami panggil Romo Kadir—guru saya di Seminari Berthinianum Salatiga, memberi kata pengantar dan penguatan untuk dapat menyintas wabah ini. Romo yang lucu dan baik hati itu kini telah beristirahat abadi bersama Allah Bapa di surga, menjadi salah satu nama pada daftar korban meninggal wabah virus corona ini.

Dulu di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta saya tidak pernah begitu merasa menjadi minoritas, sebab hampir selalu saya berada di lingkungan mayoritas Katolik. Mulai dari TK hingga S2 saya jalani di lembaga pendidikan Katolik. Kini, di Malang, di Singosari, Jawa Timur, saya merasa sendiri, bersama istri dan kedua anak lelaki kami. Bahkan, kami masih merasa asing dengan paroki tempat kami tinggal. Tambah terasing karena hampir tidak pernah dapat mengikuti perayaan misa offline di Gereja; hanya misa streaming youtube melulu setiap Minggu. Sebenarnya ada seorang kakak sepupu dan keluarganya; mereka Muslim, dan saya merasa hubungan kami tidak begitu dekat. Apalagi, kini kami berempat menderita terjangkit wabah Covid-19 ini!

Namun, sepertinya benar, Tuhan Allah tengah menyiapkan saya untuk menyaksikan suatu peristiwa sederhana, yang begitu berkesan dalam hati saya. Saat kami menjalani isolasi mandiri itu bertepatan dengan Bulan Ramadhan, kala umat Muslim di seluruh dunia berpuasa, termasuk rekan-rekan kerja saya di FIB UB dan tetangga kanan-kiri saya. Di tengah perasaan kesepian, sendiri, menderita, dan bahkan seakan-akan ditinggalkan Allah, tangan-Nya yang Agung menjamah kami lewat kolega-kolega di FIB UB dan tetangga-tetangga saya itu. Rekan-rekan kerja seangkatan saya—yang mayoritas Muslim itu—patungan, menyisihkan rezeki mereka, untuk membantu kami secara finansial menyintas derita ini. Ada pula senior di prodi—Dr. Ismi Prihandari—yang meng-GoSend-kan vitamin dan buah-buahan. Juga tetangga-tetangga saya—yang juga mayoritas Muslim—hampir tiap hari menjelang buka puasa, mengetuk pintu rumah kami mengirimkan makanan, kudapan, bahkan suplemen, dan logistik lainnya. Memang ada juga sahabat saya dari Jakarta, Romo Alexander Koko, S.J., mengirimkan sekardus besar obat-obatan dan vitamin; lalu teman teater saya, Bijak Ampuni, mengirimkan makanan beku dari Gunung Kidul; dan keluarga saya di Solo mengirimkan vitamin (semuanya dari mereka sangat saya syukuri); akan tetapi, uluran kasih persahabatan dari tetangga dan rekan-rekan kerja yang berbeda iman dan agama itu lebih menyentuh dan membukakan mata saya, bahwa meskipun saya minoritas, saya tidak berjuang sendiri di tanah rantau ini.


Saya bersama kakak sepupu saya, Padma Kuntjara. Dokumen pribadi.


Persahabatan sejati yang melampaui sekat perbedaan agama baru benar-benar saya rasakan di Malang, Jawa Timur ini. Memang benar latar belakang keluarga besar bapak saya terdiri dari beragam iman, agama, dan kepercayaan. Budhe nomor 1, pakdhe nomor 2, dan bapak saya adalah Katolik. Konon, pakdhe nomor 5 adalah simpatisan Katolik—saya ngobrol dan curhat tentang mengapa saya masuk seminari dan akhirnya keluar njeblink, ya dengan pakdhe nomor 5 ini, yang dapat memahami keputusan hidup dan iman saya itu. Sementara, budhe nomor 2, 4, 6, dan 7, serta om nomor 9, dan bulik nomor 10 adalah Muslim. Sedikit banyak saya tahu kisah perjalanan iman mereka semua hingga akhirnya memeluk agama mereka masing-masing itu. Semuanya mendapatkan imannya ketika dewasa. Bapak saya dibaptis waktu SMP. Ketika saya kecil, saya bertanya pada bapak, mengapa keluarga Eyang Padmo Soedarjo tidak satu agama, ada yang Islam dan ada yang Katolik. Bapak saya waktu itu hanya menjawab bahwa eyang adalah seorang Pancasilais. Baru setelah saya sedikit lebih besar, saya paham bahwa eyang pantang beragama. Konon, eyang Daryo adalah seorang yang sakti. Dia adalah veteran ’45; dulu menjadi bagian dari pasukan Ignatius Slamet Riyadi. Kesaktian eyang itu mengharuskannya pantang memeluk satu agama pun, meskipun eyang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan kami senantiasa merayakan Hari Raya Idul Fitri di Kauman, rumah eyang. Saya tidak berani mengklasifikasikan eyang sebagai seorang Kejawen, sebab tidak ada keluarga yang bersaksi demikian. Menjelang wafatnya, bapak bertanya kepada Eyang Daryo, hendak memeluk agama apa. Eyang memilih memeluk agama Islam. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, eyang muntah-muntah, lalu meninggal. Konon, kupu-kupu putih yang hinggap di tembok rumah Kauman jatuh kala eyang meninggal itu. Eyang Siti Noniyah, istrinya, lebih dramatis lagi dalam urusan beragama. Seumur hidupnya tidak menjalankan satu ritus agama apapun. Menjelang sakratul mautnya, adik-adiknya yang Katolik datang membaptisnya darurat. Namun, anak-anak perempuannya, budhe dan bulik, tentu saja tidak terima. Eyang Non, begitu kami memanggilnya, tetap dipocong. Namun, di balik kain kafan itu, eyang menggenggam rosario. 

Yang lebih menarik lagi adalah bahwa keluarga kami yang memiliki dinamika iman yang dramatik (untuk tidak mengatakan "tidak jelas") itu tinggal di sebuah ndalem tua di Kampung Kauman, Surakarta, Jawa Tengah. Seperti layaknya namanya, "Kauman", tentu saja kampung itu terdiri dari mayoritas kaum muslim. Lokasinya ada di sebelah utara Masjid Agung, Solo. Pada kampung itu terdapat beberapa sekolah Islam, seperti misalnya SD Muhammadiyah. Kauman menjadi kampung tempat masa kecil bapak saya. Masa kecil saya juga banyak saya lalui di Kauman. Sering kali sepulang dari sekolah SD Pangudi Luhur Purbayan, alih-alih pulang ke rumah Kleca, saya pulang ke Kauman. Jarak SD Pangudi Luhur Purbayan ke Kauman tentu jauh lebih dekat dibandingkan dengan ke Kleca. Apalagi, di Kauman ada Eyang Daryo, di kauman juga ada Mbak Dita dan Mas Kuntjara yang kurang lebih seusia dengan saya, dan tentu saja di Kauman ada mainan serta majalah Bobo milik Mbak Dita dan Mas Kuntjara. Di Kauman inilah saya yang masih SD itu pertama kalinya berdialog lintas iman dengan tetangga, kawan bermain. Kami berdiskusi tentang bagaimana kami mengucapkan nama "Allah". Sebagai seorang Katolik, tentu saja saya menyebut Tuhan dengan "Allah" juga, tetapi tidak dengan cara yang sama dengan cara orang Muslim menyebut "Allah". Kami mengucapkannya dengan "allAh", bukan "allOh". Bayangkan saja anak-anak SD berdialog agama semacam itu di tengah perkampungan yang (hampir) 100% penduduknya beragama Islam!

Ada sebuah kisah yang kemudian menggedor-gedor kesadaran saya, sehingga membuat saya semakin menyadari bahwa agama saya dan Mas Kuntjara itu berbeda. Pada suatu hari Sabtu, saya pulang SD, saya pulang ke Kauman. Bapak membeli lauk untuk makan siang kami. Bapak membeli lauk yang sangat spesial sekali, sangat enak, sangat khas di Kota Solo. Bapak membeli Babi Kuah yang dijual di depan Gereja Purbayan. Tentu saja saya sangat girang sekali. Saya membayangkan akan makan banyak. Kebahagiaan ini ingin saya bagikan kepada saudara-saudara saya yang ada di Kauman, pikir saya. Sesampainya di Kauman, saya melihat Mas Kuntjara sudah pulang sekolah. Dengan polos saya mengajaknya makan, "Mas... ayo ikut makan." Segera saja saya dibentak oleh bapak, "Hush... tidak usah mengajak Mas Kuntjara!" Tentu saja saya kaget... bapak jahat sekali! Ada makanan selezat ini tidak boleh dibagikan kepada saudara?! Pelan-pelan saya menyadari bahwa ternyata Mas Kuntjara memang tidak boleh memakan makanan enak yang bapak beli itu. Pelan-pelan saya menyadari bahwa agama Mas Kuntjara berbeda dengan agama saya, dan agama Mas Kuntjara melarangnya memakan daging babi, sebab haram. Saya, seorang anak SD waktu itu, dibenturkan pada sebuah kenyataan bahwa meskipun kami berbagi darah dan trah yang sama, saya dan Mas Kuntjara menyebut nama Tuhan dengan cara yang berbeda, dan memiliki aturan mana yang boleh dan tak boleh dimakan yang berbeda pula. Selain kisah yang saya ceritakan di atas, sebenarnya ada banyak lagi kisah dinamika lintas iman yang kami alami di Kauman. Semuanya penuh liku dan bahkan dramatis!

Kisah perjalanan iman keluarga kami yang penuh liku dan drama itu membuat pengalaman beragama saya (Katolik) di tengah pengalaman agama lain (Islam), khususnya bersama saudara-saudara sepupu saya, menjadi biasa saja, tidak mendalam, dan banal. Saya tidak menyadari, bahwa pengalaman itu membuat saya enggan menatap, merefleksikan, bahkan membahasnya. Mungkin bagi orang Solo, berjumpa dengan orang lain yang berbeda agama (dan juga berbeda etnis) itu hal yang biasa saja dan tidak istimewa sama sekali. Akan tetapi, di balik “biasa” itu, ternyata terdapat luka dan trauma yang direpresi! Mungkin itu pula yang membuat saya sering menyembunyikan nama “Yohanes” yang adalah nama depan sekaligus nama baptis saya. Saya harus meminta maaf kepada Mas Manggala Ismanto, yang bertanggung jawab mengompilasi tulisan ini, sebab tulisan autoetnografi saya ini tidak kunjung dapat saya selesaikan, sebab ternyata saya harus berhadap-hadapan dengan kisah sejarah beragama keluarga besar saya yang sungguh gelap, suram, penuh liku, dramatis, dan tidak jarang meninggalkan luka serta enigma.

Saya baru berani menatap kisah yang sedikit banyak saya represi itu secara detail setelah pada hari ini saya mengikuti halalbihalal perumahan tempat saya mengontrak. Semua diundang, semua berkumpul, semua bersalam-salaman, dan semua makan siang bersama dalam suasana suka cita. Tidak hanya pemeluk Islam saja, kami yang Katolik dan Protestan juga turut serta diundang dan diterima layaknya saudara sendiri yang telah bersama-sama sekian lama. Segera saya terngiang lagi akan pengalaman dikirimi makan malam oleh Bu Hasan sekeluarga yang pada waktu itu tengah menjalani ibadah puasa, pengalaman dikirimi madu murni oleh Pak Nur—seorang polisi—yang selalu taat menjalankan ibadah salat, pengalaman dikirimi kudapan oleh Ibunya Belino—Ibu dari anak yang sering bermain dengan anak-anak saya, pengalaman diberi gas melon full oleh Bu Vivi kala kami kehabisan gas sewaktu isolasi mandiri, juga pengalaman ditransfer sejumlah uang oleh rekan-rekan kerja seangkatan saya, dan dikirimi vitamin oleh senior saya di prodi. Pengalaman-pengalaman tersebut membuka mata saya bahwa ketika saya berada di tengah-tengah mereka, bersama-sama dengan mereka, mereka tidak pertama-tama melihat identitas agama, melainkan melihat saya sebagai persona, seorang pribadi, seorang sesama, bahkan seorang sahabat.

Di tengah persahabatan yang meretas sekat-sekat identitas agama itulah kemudian kita bisa bersama-sama membangun dan menciptakan sesuatu yang positif untuk kita semua (untuk tidak menjadi muluk mengatakan “bangsa dan negara”). Di tengah persaudaraan di atas perbedaan agama kami, saya dan Mas Kuntjara beberapa kali berkolaborasi secara positif menghasilkan karya-karya kecil. Di tengah persahabatan yang meretas sekat-sekat identitas agama itulah kita bisa hidup berdampingan dengan penuh rasa toleransi. Menjadi toleran tidak sama dengan merelativisasi kebenaran agama kita masing-masing, apalagi dengan mencoba mempraktekkan ritus-ritual agama orang lain (dengan hasrat caper)—mencampuradukkannya begitu saja. Menjadi toleran juga tidak sama dengan diam saja menganggap seolah-olah perbedaan itu tidak pernah ada, tidak perlu dibicarakan, dan tidak perlu direfleksikan, yang penting jalan terus bersama-sama. Tidak demikian! Menjadi toleran berarti kita mencoba mengerti dan memahami kebenaran agama lain, tanpa merelativisasi kebenaran agama kita. Menjadi toleran berarti mampu memahami dan menerima kebenaran liyan sembari mampu membahasakan dan tidak kehilangan kebenaran diri, tanpa mencampuradukkan kebenaran-kebenaran tersebut. Menjadi toleran berarti bersikap penuh persahabatan dan penuh penerimaan terhadap mereka yang berbeda dengan kita, tanpa kita kehilangan jati diri dan kebenaran diri. Menjadi toleran berarti kita mampu duduk bersama-sama (mungkin juga dengan ngopi dan udud bersama), membicarakan diri kita masing-masing, ngobrol, membahasakan diri apa adanya, sekaligus juga mampu mendengarkan dan memahami sahabat kita itu apa adanya, untuk kemudian saling menerima jati diri masing-masing, sehingga bersama-sama dapat menjalani tugas perutusan bersama, membangun kemanusiaan yang lebih manusiawi, saling memanusiakan manusia. Singkatnya, menjadi toleran berarti mampu saling menjadi sahabat sejati dalam kemanusiaan, tanpa kehilangan kesejatian diri—kebenaran diri.

Ndalem Kauman, Surakarta. Di rumah inilah Eyang Daryo dan Eyang Non tinggal. Rumah ini adalah rumah masa kecil bapak saya. Masa kecil saya juga banyak saya habiskan di rumah ini, sehingga saya memiliki ikatan memori primordial dengannya. Di dalam rumah inilah pengalaman pertama saya berjumpa dengan saudara setrah yang berbeda agama terjadi; saya memiliki kesadaran bahwa saya adalah seorang Katolik, sementara saudara saya Islam, tetapi tentu saja kami tetap bersaudara bahkan secara produktif menghasilkan beberapa karya seni. Foto oleh Padmi Dita.


Sekarang saya bisa memaknai kisah penuh liku perjalanan iman keluarga besar saya tersebut dengan pandangan baru, bahwa sesuram apapun kisah itu, adalah kisah dramatis luar biasa yang saya syukuri; saya adalah bagian integral dari peristiwa unik tersebut. Saya bisa memaknai secara baru hubungan saya dengan saudara-saudara sepupu saya yang beragama Katolik dan terutama dengan yang beragama Islam: Mas Tri Sutrisno—satu-satunya saudara sedarah dengan saya di Malang ini, Mas Padma Kuntjara—yang dengannya saya senantiasa berdialog dan berbagi kegelisahan tentang apapun, Mbak Padmi Dita—yang perjalanan iman dan beragamanya tidak kalah dramatis dari kisah leluhur kami, Mbak Damayanti—seorang Muhammadiyah dan guru SD Islam, dan saudara-saudara lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Saya juga mensyukuri perjumpaan saya dengan para tetangga di Singosari, yang mayoritas Muslim; mereka menerima kami apa adanya bahkan tanpa khawatir menyediakan logistik bagi kami tatkala kami isolasi mandiri. Saya juga bergembira bisa bersahabat dengan rekan-rekan kerja—kolega saya di FIB UB; bersama-sama kami melakukan hal-hal baik, bahkan hal-hal remeh, juga saling berbagi dalam suka dan duka tanpa tersekat identitas agama masing-masing. Tuhan Allah tidak meninggalkan saya, juga di saat sakit dan menderita. Tuhan Allah menempatkan saya, seorang Katolik, di tengah-tengah para sahabat Muslim, untuk menunjukkan Kemahakuasaan dan Kemahabesaran-Nya, sehingga kami dapat bersama-sama berusaha semakin menjadi manusia yang menjalani perutusan-Nya dengan penuh rahmat dan suka cita.

 

Singosari, 15 Mei 2022


Comments