COVID-19 AND CULTURAL STUDIES

COVID-19 AND CULTURAL STUDIES WITH SPECIAL REFERENCE TO INDONESIA by Yohanes Padmo Adi Nugroho I was writing about virtual-reality game, when the COVID-19 Pandemic spread to the whole world. My country, Indonesia, was so confident that we will not and will never be contract this disease. There were even jokes among ministers that Indonesian is too strong for SARS-CoV-2 to infect, or that the virus cannot enter Indonesian area because the permission is difficult. It was February 2020. But, then, in the early of March the government announced that there were two Indonesian citizen s being COVID19 positive. From that day, we are slowly swallowed in panic. Not long after, the first two Indonesian COVID-19 patients are announced to public, the case is rapidly increasing. The epicenter of Indonesian COVID-19 Pandemic outbreak is Jakarta and the area nearby (Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi), but because people are still able to mobile and travel, the cases are now everywhe

PERKAWINAN ADALAH SEBUAH “KEPANITIAAN” HINGGA MAUT MEMISAHKAN

PERKAWINAN ADALAH SEBUAH “KEPANITIAAN” HINGGA MAUT MEMISAHKAN

Refleksi Sederhana atas Peringatan 8 Tahun Perkawinan

 

Tak pernah terpikirkan olehku di awal usia 20-an tahun bahwa aku akan kawin, menjadi suami, dan bahkan menjadi ayah. Pada usia dewasa awal itu, aku mengidentifikasi diri sebagai seorang bohemian melankolis yang takkan pernah menikah, lalu mati muda. Kemudian, keputusan besar aku ambil di usia 20 tahun. Aku menyatakan cinta pada seorang gadis yang sebenarnya sudah aku kenal sejak kelas 2 SMA. Sebenarnya, aku sudah menyukainya sejak pandangan pertama di kaki Gunung Lawu waktu itu. Namun, perjalanan hidup belum mengizinkan kami untuk bersama. Dia melanjutkan kuliah di Salatiga, sementara aku menjauhi hiruk-pikuk dunia untuk menemukan diri.

Perempuan itu menerima cintaku pada suatu malam yang dingin di tepi Lapangan Pancasila Salatiga pada tahun 2009. Sejak saat itulah kami bersama. Pada waktu awal-awal bersama, aku yang masih dipengaruhi oleh paradigma dan gaya hidup eksistensialis ala Sartre-Beauvoir, menyatakan bahwa hubungan cinta kami itu tidak perlu diresmikan ke dalam lembaga perkawinan. Apalagi, aku merasa bahwa pernyataan dan janji cinta yang disaksikan oleh Bapa Langit dan Ibu Bumi di Kota Salatiga itu sudah lebih dari cukup.

Namun, seiring berjalannya waktu, aku kembali merenungkan esensi dari hidup perkawinan itu sendiri, khususnya perkawinan Katolik. Untuk apa seorang lelaki harus mengawini seorang perempuan? Apakah Homo sapiens pada awal-awal dulu juga memiliki lembaga perkawinan? Renungan itu tentu saja dibarengi pula dengan studi-studi teologi dan filsafat di tingkat Strata Satu di bangku kuliah. Bertemulah aku dengan seorang eksistensialis lain selain Sartre, bernama Gabriel Marcel. Melalui paradigma Marcel, aku belajar tentang cinta yang bermartabat, sebagai puncak dari komunikasi antara Aku dan Kamu menjadi Kita. Cinta adalah aktus dialogis antara dua subjek merdeka. Dan, ketika Aku menyatakan cinta kepada Kamu, Kamu tidak akan pernah mati; bukan berarti bahwa kematian biologis tidak akan terjadi, melainkan bahwa Kamu akan senantiasa hadir bagi Aku.

Cinta sebagai komunikasi dialogis antara Aku dan Kamu itu akan mendapatkan legalitasnya dalam lembaga perkawinan. Di sisi lain, cinta sebagai komunikasi dialogis Aku-Kamu itu akan mendapatkan status sakralnya tatkala janji perkawinannya diucapkan di hadapan Tuhan Allah. Terlebih lagi, dalam perspektif teologi Katolik, perkawinan seorang lelaki Katolik dan seorang perempuan Katolik adalah sakramen! Oleh sebab itu, ketika aku diberi pilihan untuk mengawini kekasihku dengan serius atau meninggalkannya, tanpa pikir panjang aku memilih untuk mengiyakan perkawinan itu. Tentu saja dari diriku sendiri aku telah memiliki disposisi bahwa sejak mengucapkan janji cinta di Lapangan Pancasila Salatiga di hadapan Bapa Langit dan Ibu Bumi, dan tatkala dia mengucapkan, “Iya, aku mau,” perempuan itu telah dan akan menjadi satu-satunya kekasihku yang aku cintai hingga ajal menjemput.

Maka, pada hari Senin, 01 Februari 2016, aku dan kekasihku saling mengucapkan janji perkawinan, merayakan cinta, saling menerimakan sakramen, dan me-level-up­-kan relasi kasih kami. Aku dan kekasihku bukan lagi dua, melainkan satu. Aku pun meninggalkan keluargaku, dia pun meninggalkan keluarganya, untuk saling bersatu, ratum et consummatum. Kemudian, pada hari Kamis, 04 Februari 2016, pada acara Ngundhuh Mantu, aku membacakan untuk kekasihku sebuah puisi berjudul Puisi Sang Temanten; pada bait terakhirnya tertulis: “Dan, kita pun bersatu tubuh. Jiwa kita berselaras. | Tuhan Allah sendiri yang telah menyatukan. | Sehingga, memaknai teladan Sang Anak Domba | dengan berani kuserukan padamu... | Ka... | Inilah tubuhku yang diserahkan bagimu! | Inilah darahku yang dicurahkan bagimu!” Perkawinan, khususnya perkawinan Katolik, selain adalah sakramen tentunya, juga memiliki sifat ekaristis; bahwa suami dan istri saling berbagi “tubuh” dan “darah”, sama seperti alegori Perkawinan Anak Domba Allah dengan Gereja-Nya.

Dalam suasana dialogis (baca: cinta), sakramen, dan ekaristis itulah seorang lelaki (suami) dan seorang perempuan (istri) saling berbagi dan saling mengisi. Perkawinan menjadi ibaratnya suatu kepanitiaan: ada ketuanya, ada wakil ketuanya, ada sekretaris, ada bendahara, ada sie humas, ada sie acara, ada sie tranpsortasi, ada sie hiburan, ada sie konsumsi, ada juga tentu saja sie usaha dana, ada sie rohani, ada sie pendidikan dan edukasi. Lalu juga ada sie-sie yang lain-lainnya sesuai kebutuhan perkawinan itu. Siapa yang memegang posisi sie-sie tersebut? Ya tentu saja berdua: si lelaki (suami) dan si perempuan (istri). Perkawinan adalah usaha sepasang spesies Homo sapiens untuk menyintas dan menjalani kehidupan bersama-berdua, sehingga kans untuk memperpanjang masa hidup, menjalani hidup dengan kecukupan-sejahtera-bahagia, dan beregenerasi-reproduksi (mewariskan segenap kebijaksanaan kehidupan) menjadi lebih besar!


Aku dan Kamu menjadi Kita di dalam Cinta.
Dokumen pribadi.


Kurasa, tepat seperti itulah aku dan kekasihku memaknai perkawinan kami selama delapan tahun ini. Perempuanku itu—Kartika Indah Prativi—adalah istriku, kekasihku, kawan hidupku, sahabatku dalam suka dan duka, dan partner setia dalam menjalani hidup yang pahit ini! Ketika aku tidak bekerja karena masih harus menyelesaikan studi, istrikulah yang menduduki posisi sie usaha dana. Ketika dia menyatakan ingin memiliki keturunan, hingga harus berhenti dari pekerjaannya, giliran akulah yang menjadi sie usaha dana. Ketika kami harus merawat, mendidik, dan membesarkan dua bocah lelaki, kami pun saling berbagi tugas. Ketika salah satu dari kami menjadi jauh dari Tuhan, kami saling berdialog untuk memahami dan mengingatkan—bukan menghakimi! Tatkala hati kami sumpek oleh karena satu dan lain hal, kami saling menjadi kawan curhat. Kami berusaha saling mendukung satu sama lain sehingga secara pribadi kami level up dan healing bersama. Kami terbuka pada luka-luka batin masa lalu kami, untuk kemudian bersama-sama lebih mengenali diri kami masing-masing. Kami berusaha saling membahagiakan, merawat, dan menyejahterakan. Salatiga, Yogyakarta, Surakarta, Sukoharjo, Malang, hingga kini Singosari, kami berusaha untuk tetap bersama, sebab kami telah saling berjanji, sebab kami telah menjadi satu daging, sebab kami adalah satu “kepanitiaan”. Tentu saja itu semua tetap dibumbui dengan sanggama. Sebagai sepasang suami-istri Katolik, kami perlu terbuka pada kehadiran keturunan; seks sebagai reproduksi. Selain itu, secara pastoral juga seks antara suami-istri sah adalah perlu untuk rekreasi. Oleh sebab itu, obrolan tentang seksualitas bukanlah hal yang tabu. Dalam persanggamaan itulah kami bersama-sama mencari dan menemukan kemanunggalan Tuhan.

Kehidupan perkawinan kami mungkin belum begitu lama jika dibandingkan pasangan-pasangan yang telah menjalaninya hingga puluhan tahun, hingga kaki-kaki nini-nini, bahkan secara romantis hingga menjemput maut bersama-sama di usia senja. Namun, kehidupan perkawinan kami juga tidak bisa dibilang baru begitu saja. Kami telah mengalami suka duka perkawinan ini selama delapan tahun! Ya, 01 Februari 2024 perkawinan kami genap memasuki tahun kedelapan. Kami pernah mengalami hampir tidak memiliki uang sama sekali, sehingga harus menggadaikan idealisme untuk bersikap “mana hadap” sekadar mendapat Rp 300.000,00. Kami pun juga pernah begitu saling marah satu sama lain, sehingga segenap komunikasi dan dialog mandeg, kemudian saling mengambil jarak untuk mengendapkan segala sesuatunya. Setelah emosi itu saling reda, kami pun membuka kembali ruang dialog itu, dan masih menemukan cinta di sana. Akan tetapi, kami selalu memastikan bahwa segala ups and downs itu kami rembug, sepakati, putuskan, jalani, dan tanggung-jawabi bersama-sama berdua; juga pada keputusan-keputusan yang paling absurd sekalipun, tetap kami putuskan dan jalani berdua, seperti misalnya secara spontan memutuskan untuk pulang ke Solo tanpa rencana sebelumnya walau rekening sedang tipis. Terlebih pada keputusan-keputusan penting dan krusial—seperti keputusan semeleh-pasrah-marang-karsaning-Allah ikut tes CPNS, keputusan hidup bersama-sama berempat di Malang walau tidak punya apa-apa di sana, keputusan membeli mobil tua Suzuki Jimny Katana tahun 1997, dan keputusan mempertaruhkan segala angka pada tabungan untuk bisa membeli sebuah rumah sederhana di Singosari—kami rembug, sepakati, putuskan, jalani, dan tanggung-jawabi bersama! Melalui perkawinan ini, cinta kami bukan lagi sebuah cinta layaknya pada sinetron dan telenovela atau K-Drama yang mengawang-awang meninabobokan, melainkan cinta yang secara konkret memampukan, memberdayakan, hingga pada akhirnya membuat kami pribadi masing-masing dapat level up. Tidak selalu manis, seringnya malah pahit. Tapi ya ibarat jangan pare atau burakku kohi atau malah jamu dhong kates, pahit-yang-nikmat! Nikmat, karena dijalani berdua. Saling menyejahterakan berdua.

Tidak terasa, perkawinanku dengan Kartika Indah Prativi telah berjalan selama delapan tahun. Anak mbarep kami pun kini sudah SD kelas 1. Adiknya pun sudah belajar sekolah di TK kecil. Kami bersama-sama di Singosari. Masih banyak keputusan-keputusan penting dan krusial perlu kami rembug, sepakati, putuskan, jalani, dan tanggung-jawabi bersama. Masih ada satu keputusan penting yang belum juga berani kami ambil. Dan, dalam perjalanan delapan tahun perkawinan kami, tentu saja masih banyak hal yang perlu kami evaluasi dan perbaiki, seperti misalnya kami perlu lebih banyak melibatkan Tuhan, sebab ya DEVS PROVIDEBIT! Iman semacam itu akan menjauhkan kami dari kegelisahan dan kekhawatiran yang tidak produktif.

Kiranya refleksi sederhana ini dapat memberi makna pada delapan tahun perkawinan kami dan lima belas tahun kisah cinta kami besok Juli tahun ini. Kartika Indah Prativi, aku cinta padamu! Kita lanjutkan “kepanitiaan” ini hingga ajal memisahkan.

 

Malang, 31 Januari 2024

Padmo Adi


Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. HWA mas mba... Maturnuwun pencerahannya soal perkawinan.. btw bgmn cara update data sorosilahnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih. Dengan senang hati untuk berbagi pengalaman dan refleksi.
      Untuk update/revisi data sorosilah, apa yang bisa saya bantu?

      Delete

Post a Comment