KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

Agama sebagai Identitas yang Tidak Pernah Netral

Agama sebagai Identitas yang Tidak Pernah Netral

“Watak keras agama Abrahamik terjadi ketika agama-agama itu membumi yaitu ketika agama-agama itu berjumpa dengan manusia dengan berbagai kepentingannya. Maka, eksistensi agama-agama sebagai kelompok sosial dapat dilihat sebagai eksistensi kelompok-kelompok kepentingan. Konteks kelompok kepentingan itu bisa mulai dari masalah ekonomi hingga politik dan keamanan.” Itulah ringkasan salah satu pembahasan dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Agama-agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia” yang menarik bagi kelompok kami. Hal tersebut juga digambarkan dalam film The Kingdom yang kami tonton setelah membedah buku tersebut. Sebuah agama tidak pernah bisa berdiri sendiri. Agama selalu lahir dan berada dalam konteks budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Semua hal itu saling terkait dan susah terlepas.
Dalam sejarah Kekristenan kita ketahui bersama bahwa perpecahan Gereja menjadi Barat dan Timur tidak semata-mata karena masalah teologis (penambahan kata filioque), melainkan juga masalah politis, bahwa masyarakat Timur enggan tunduk pada dominasi Barat. Juga Reformasi Protestan tidak bisa dipandang semata-mata karena masalah simonial dan kemerosotan moral, melainkan juga faktor politik, sosial, ekonomi; para bangsawan Jerman dan sekitarnya ingin bebas dari kekuasaan Spanyol. Sempalnya kelompok Khawarij dari Islam Ortodoks juga memiliki unsur politis, mereka kecewa terhadap Ali ibn Abi Thalib yang berkompromi dengan Muawiyah. Kejayaan Mazab Mu’tazilah tak lepas dari unsur politis, bahwa Khalifah Al-Makmun (212/827) saat itu menganut mazab itu. Pun di Indonesia, kerusuhan di Poso dan Ambon itu tak semata-mata karena perbedaan agama, tetapi justru juga masalah perebutan lahan ekonomi.
Namun, mengapa agama yang seharusnya mengantar orang pada kehidupan yang lebih damai dan penuh cinta-kasih ini menjadi alasan orang untuk berkonflik? Gutomo Priyatmono dalam makalahnya berjudul “Membicarakan Sesuatu yang Seharusnya Mudah” dengan tajam mengupas, “Kasus-kasus yang muncul dalam masyarakat, persepsi atas yang dianggap sebagai stranger dan the others, kekerasan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, merupakan kekerasan yang membawa pada pluralitas IDELISASI sebagai dasarnya.” Ketika orang semakin mudah untuk bertemu satu sama lain, ketika seseorang bertemu dengan orang-orang lain yang sama sekali berbeda dengannya, dia membutuhkan identitas. Dia membutuhkan gambaran diri ideal tentang siapa dia, bahwa dia berbeda dengan mereka. Di mana identitas ini bisa diperoleh? Dari lembaga tempat dia sekolah adalah contoh yang sederhana, organisasi atau club yang dia ikuti (Bonek misalnya), sukunya, bahasanya (itulah mengapa orang Perancis enggan berbicara memakai Bahasa Inggris), kebangsaan, juga agama. Dan, ketika orang terlalu memuja identitas ideal ini sehingga menutup mata akan kekhasan yang lain, atau mungkin takut identitasnya tenggelam oleh identitas yang lain, dia menjadi keras, fundamental, dan fanatik, sehingga resisten terhadap kenyataan lain.
Hal tersebut akan semakin rumit ketika kepentingan-kepentingan yang lain turut mewarnai. Karena agama tidak hanya mencakup aspek ritual, tetapi juga aspek sosial, segala macam kepentingan sosial, politik, dan ekonomi bisa dicampurtangani agama. Masalah politik, ekonomi, dan sosial di sebagian besar negara Amerika Latin direaksi oleh agama dengan Teologi Pembebasannya, bahkan para pemuka agama turun angkat senjata. Adalah rahasia umum bahwa seseorang harus memeluk agama tertentu untuk dapat memangku jabatan tertentu di pemerintahan. Jika demikian, agama hanya dipakai sebagai baju untuk mengesankan identitas supaya dapat melaksanakan kepentingan-kepentingan. Jika kepentingan-kepentingan ini terganggu, konflik bisa terjadi dan agama menjadi perisai sekaligus senjata utama. Sebenarnya nothing to do dengan masalah-masalah teologis internal agama-agama. Itu adalah pembahasan penganut agama masing-masing. Penyerangan dan pendebatan atas masalah teologis itu tak lain adalah dalih untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan lain yang laten. Yang perlu diperhatikan justru adalah implementasi pada ranah moral dan sosial karena kita sadar kita hidup di tengah dunia yang penuh dengan perbedaan. Adalah absurd ketika seseorang berdoa memohon damai pada Tuhan, tetapi setelah itu berkelahi dengan tetangganya.
Ramalan Nietzsche tentang kematian Allah sepertinya meleset. Allah tidak mati, tapi justru semakin kuat ada dalam benak pemeluk-pemeluk agama. Namun, tunggu dulu, jangan-jangan Nietzsche benar, bahwa Allah harus mati? Allah apa dulu yang dibunuh Nietzsche? Allah mana dulu yang semakin kuat ada dalam benak pemeluk-pemeluk agama? Apakah Allah de iure itu sama dengan Allah de facto? Atau, hanyalah Allah yang dibuat untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan? Apakah benar Allah ada dalam agama-agama? Atau, agama-agama itu justru menjadi Allah-allah baru yang mengaburkan Allah de facto? Hanya sebuah saran praxis, apapun konsep Ketuhanan pada agama-agama (Abrahamik), dalam berdialog satu sama lain, masalah kemanusiaan itu lebih mendesak untuk diperhatikan bersama-sama. Kami pikir, hal kemanusiaan itu adalah hal universal yang tentunya terangkum juga dalam agama. Identitas sebagai manusia, kami pikir, lebih universal dari pada identitas suku, bangsa, bahasa, ras, dan agama.

Tepi Jakal, 30 Maret 2010
Padmo “Kalong Gedhe” Adi

Comments