Misteri Trinitas
-Padmo Adi-
PETRVS LOMBARDVS
1. Memahami Misteri Trinitas Secara Filosofis
Trinitas adalah “pluralitas (tiga) pribadi, ketunggalan esensi”. Lombardus mencari pemahaman itu selain dalam Alkitab juga secara filosofis. Lombardus menyatakan bahwa manusia memiliki akses kepada Allah tidak hanya lewat iman, tapi juga lewat akal budi.
Dia menyatakan bahwa Allah dapat dimengerti lewat ciptaan-ciptaan-Nya. Ada empat ‘jalan pikir’ (rationes) atau ‘cara’ (modi) untuk menelusuri eksistensi Allah:
1. Ciptaan mengandung Ada yang pasti, yang tidak dapat diciptakan/diadakan oleh makhluk surgawi dan duniawi.
2. Yang-dapat-berubah hanya dapat memiliki Ada dari Yang-tak-dapat-berubah.
3. Substansi itu atau ‘badan’ atau ‘jiwa’, dan sesuatu yang adalah ‘jiwa’ itu lebih baik dari pada sesuatu yang adalah ‘badan’, tapi tetap jauh lebih baik Dia yang menciptakan ‘jiwa’ dan ‘badan’.
4. Ada bentuk badan dan ada bentuk jiwa. Baik badan dan jiwa mendapatkan Ada sebagai bentuk dari ‘Bentuk-pertama-dan-tak-terubahkan’.
Namun, keempat ‘jalan pikir’/‘cara’ itu bukanlah bukti-bukti eksistensi Allah yang dibuat-buat secara filosofis.
2. Memahami Trinitas Melalui Manusia Sebagai Citra Allah
Ciptaan, khususnya manusia, mengandung jejak samar yang dapat mengantar kita pada pemahaman pluralitas pribadi sekaligus ketunggalan esensi Trinitas itu. Lombardus mendasarkan tesis ini dari Kitab Kejadian bahwa manusia diciptakan berdasarkan citra Allah, manusia adalah gambaran Allah. Untuk memahami pluralitas pribadi sekaligus ketunggalan esensi Trinitas itu, Lombardus mengajak kita memahami dimensi jiwa manusia.
Jiwa (akal budi) manusia terdiri dari tiga kemampuan dasar: ingatan (mens), kecerdasan (notitia), dan cinta/kehendak (amor). Ketiga kemampuan itu adalah tiga bagian yang berdiri sendiri tapi tertunggalkan dalam akal budi. Keberdirisendirian tiga bagian itu tidak memecah ketunggalan akal budi, sama dengan keberdirisendirian tiga pribadi Trinitas tidak melanggar ketunggalan esensi ilahi-Nya.
Ada sprachspiele untuk menggambarkan keberdirisendirian-tapi-tunggal tiga kemampuan dasar akal budi tersebut. “Aku mengingat memiliki ingatan dan kecerdasan serta kehendak, aku mengerti aku mengerti dan menghendaki serta mengingat, aku menghendaki aku menghendaki dan mengingat serta mengerti.” Berdasarkan sprachspiele ini mustahil bahwa masing-masing bagian akal budi itu bekerja sendiri-sendiri tanpa dua yang lain.
Akal budi manusia adalah gambaran Trinitas. Akan tetapi, sebuah gambaran tidak identik persis dengan yang digambarkan. Manusia tidak hanya memiliki ingatan, kecerdasan, dan kehendak (dimensi jiwa), tetapi juga lengan, kaki, kepala, dll. (dimensi badan), sedangkan di dalam Allah tiada yang lain kecuali kesatuan dan kesederhanaan sempurna. Manusia dengan ingatan, kecerdasan, dan kehendaknya adalah satu pribadi (person), sedangkan Allah adalah tiga pribadi (person).
Manusia adalah gambaran Allah. Jiwa (akal budi) manusia terdiri dari ingatan (mind), kecerdasan (knowledge), dan kehendak (love/will). Maka, kita dapat menggambarkan Allah Bapa sebagai mind, Allah Putera sebagai knowledge (kebijaksanaan), dan Allah Roh Kudus sebagai love.
3. Esensi Ilahi
Dalam Kitab Keluaran Allah mewahyukan diri kepada Musa sebagai ‘I am who am’. Sapientia mengandung sapere. Scientia mengandung scire. Essentia mengandung esse (to be). Di dalam Allah esensi dan being (Ada) adalah hal yang sama. Hanya Allah yang adalah esensi (essentia) atau being (esse).
Karena Allah secara dasariah adalah to be, Allah adalah esse murni. Pernyataan itu memiliki tiga konsekuensi. Pertama, Allah tidak terbatas oleh waktu. Allah bukan ‘was’, atau ‘will be’, melainkan hanya ‘is’. ‘Was’ bukan lagi ‘is’ dan ‘will be’ belumlah ‘is’. Secara positif kita dapat mengatakan bahwa Allah sekaligus ‘was’, ‘is’, dan ‘will be’.
Kedua, Allah tidak berubah, tetap, kekal. Hanya Allah yang memiliki kekekalan sejati. Bahkan, jiwa abadi malaikat rentan terhadap kematian, yaitu kematian jiwa di dalam dosa.
Ketiga, Allah itu sederhana. Esensi-Nya sebegitu sederhana dan sebegitu murni sehingga tiada yang di dalam-Nya yang bukan ‘Dia’. Tiada di dalam Allah yang bukan Allah. Berdasarkan kesederhanaan Allah yang sempurna itu, lebih baik membicarakan esensi-Nya dari pada substansi-Nya.
Karena Allah adalah esse-nsi murni dan sederhana, pengetahuan-Nya atas segala hal masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah satu pengetahuan. Makhluk-makhluk harus keluar dari kedirian mereka untuk mengetahui sekitar, sedangkan Allah mengetahui segalanya di dalam Diri-Nya sendiri.
Comments
Post a Comment