Hadiah
Paska
Damai
Kristus. Malam Paska kali ini mengejutkanku. Tiba-tiba ibu sms, kaumain ke rumah
dan mencariku. Sudah 3 tahun kita tak bertemu. Apa kabar, Maria? Sebenarnya ibu
telah menceritakan semua. Entah apa yang harus kutuliskan pada surat ini. Maaf
jika surat ini mengganggumu, aku hanya ingin menyapamu. Engkau tak meninggalkan
nomor telepon atau HP, hanya meninggalkan alamat pada ibu. Sejak kapan kamu di
Salatiga? Maaf, aku hanya bisa mengirimi surat, sebab, kautahu, susah bagiku
sekarang berpergian luar kota.
Jujur
aku masih mencintaimu. Bahkan, di medan perang dulu, kubawa cintamu serta
bersamaku. Pada saat itu Negara sedang membutuhkanku menumpas gerakan
separatis. Patriotismeku berkobar. Pro
ecclesia et patria, kata-kata Mgr. Soegijopranata itu berdengung di
kepalaku. Malam itu di Gua Maria Mojosongo, Solo, kita berdoa bersama. Kita
memohon doa Bunda Maria agar aku selamat dalam mengemban tugas sehingga dapat
kembali ke pelukanmu hidup-hidup. Akupun berjanji untuk pulang hidup-hidup. “Hanya
tiga bulan dan aku akan pulang,” kataku.
Di depan rumahmu saat aku hendak pamit, kamu memelukku erat seakan tak rela
melepasku pergi. Kaukalungkan rosario merahmu sambil berkata,“Jika kaupandang
rosario ini dan berdoa dengannya, ingatlah aku. Sebutlah namaku dalam doamu.”
Kukecup keningmu dan kemudian aku berlalu.
Seminggu
kemudian, pada hari Senin, pasukan kami diberangkatkan. Sebelum berangkat, pada
hari Minggu, para prajurit yang Katolik boleh mengikuti perayaan ekaristi yang
dipimpin seorang pastor TNI, Mayor Angkatan Udara. Kami menerima Sakramen
Ekaristi sekaligus Sakramen Pengurapan Suci. Memang kami tidak sakit, tidak
pula dalam sakratul maut, juga tidak mengharapkan mati, tetapi sudah sejak dulu
para prajurit Katolik menerima Sakramen Pengurapan Suci sebelum berperang. Dan,
berkat penutup pada misa Minggu itu benar-benar menggetarkan raga kami,
mengobarkan jiwa kami. Kami siap maju!
Kami
diterjunkan di garis depan menggantikan pasukan sebelumnya. Tiga bulan terasa
tiga tahun dalam keadaan perang di hutan-hutan seperti itu. Para separatis
bergerilya. Mereka bisa menyergap kami sewaktu-waktu dan di mana saja. Kami
harus waspada. “Tuhan Yesus tolonglah kami, Santo Mikael doakanlah kami,” doaku
tiap pagi dan sore hari.
Genap
tiga bulan pasukan kami belum juga ditarik pulang. Keadaan makin genting.
Negara membutuhkan tambahan pasukan. Tugas kami diperpanjang untuk waktu yang
belum dipastikan. Kamu tahu, berpetualang di hutan itu mengasyikkan, apa lagi
bersama teman-teman. Namun, tiap hari mendengar suara ledakkan senapan,
dentuman bom, erangan musuh meregang nyawa, gemuruh M-16 dan AK-47, apa lagi
menyaksikan kematian seorang sahabat sungguh sangat menyesakkan.
Aku
mencintaimu, maka aku harus mencintai diriku sendiri. Yesus bersabda,“Cintailah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Maka, bagaimana mungkin aku
mencintaimu yang berada nun jauh di Jawa sana jika aku tak dapat mencintai
diriku sendiri yang terjebak dalam perang ini? Aku berusaha bertahan hidup
hingga dipulangkan. Aku makan apa yang bisa dimakan supaya memiliki cukup
tenaga untuk bertahan. Aku terpaksa membunuh supaya tidak dibunuh. Itulah
aturan perang, Maria, sederhana, kan? Ah, semoga Tuhan mengampuniku. Katanya,
hanya uskup yang dapat mengampuni dosa membunuh. Terkadang di dalam mimpi aku
dihantui bayang-bayang mereka yang telah kubunuh. Mereka tidak salah apa-apa, Maria,
kecuali bahwa mereka mengusahakan hidup yang lebih baik, lepas dari Pemerintah
Negara yang dirasa tidak adil terhadap mereka.
Pada
suatu pagi, kira-kira pukul 4, pasukan kami berbaku tembak dengan mereka. Aku
tidak sempat menyelesaikan doa rosario. Kami terkepung. Kapten meminta bala
bantuan melalui radio. Pasukan lain terdekat berjarak satu jam dari tempat
kami. Peluru menghujani kami tanpa ampun. Kami pun membalas sejadi-jadinya. Ya
Tuhan, gelap sekali pada waktu itu. Matahari seakan enggan terbit, membiarkan
kami menyelesaikan bunuh-membunuh itu dulu. Terakhir yang kuingat, Anton
berteriak,“GRANAT!!!” Dan, aku tidak ingat apa-apa lagi.
Saat
kubuka mata, aku telah berada di rumah sakit TNI. Aku pingsan cukup lama
ternyata. Syukur pada Allah, aku masih hidup. Deni, sahabatku, tewas di saat
bantuan datang. Para separatis itu akhirnya melarikan diri kembali ke hutan.
Aku yang pingsan dibawa ke rumah sakit sedangkan teman-teman yang meninggal
dikirim kembali ke Jawa. Sebulan kemudian aku dipulangkan.
Aku
boleh pulang ke Solo. Segera aku pergi ke rumahmu. Aku telah menepati janjiku, kan? Aku pulang hidup-hidup untuk merajut cinta bersamamu lagi. Melihatku di
ambang pintu, kamu tak segera memelukku. Kauhanya diam terkejut. Lalu,
menangis. Berlari masuk ke kamar. Ibumu memberitahuku, kautak ingin menemuiku
dan berharap aku tak lagi berusaha menemuimu. Saat itu hatiku hancur, Maria.
Kutitipkan bunga mawar itu pada ibumu sembari berkata,“Bu, berikanlah ini
padanya. Aku tidak menyesal pernah mencintainya dan aku akan selalu
mencintainya.”
Tanpa
mendapat penjelasan pasti, aku pulang. Apakah karena aku terlalu lama di medan
perang sehingga kaubosan menungguku lalu menambatkan hati pada pria lain? Atau,
karena sekarang aku tak berkaki? Kakiku terpaksa diamputasi oleh karena granat
itu. Apapun alasanmu, kubawa kursi rodaku pergi. Aku ingin memulai lembaran
baru pada buku yang lama, tanpamu. Aku mendapat pensiun dini oleh karena
kakiku. Sempat aku berontak pada Tuhan; 3 bulan aku tak ke gereja. Namun,
kemudian aku sadar, Tuhan masih mencintaiku. Tuhan masih memberiku hidup. Aku
masih hidup, Maria! Mengatakan “YA” pada hidup dengan segala konsekuensinya,
walaupun tanpa kaki, walaupun tanpamu, adalah cara bersyukur pada-Nya. Gloria Dei homo vivens, kira-kira
kuterjemahkan demikian,“Kemuliaan Allah adalah manusia yang menghidupi hidupnya
dengan lebih hidup”.
Aku
menyepi ke Jogja. Baru kusadari, aku memiliki talenta selain membunuh musuh
Negara, tulis-menulis. Kini aku bekerja sebagai editor pada sebuah penerbit.
Syukur pada Allah, mereka lebih menghargai talenta dari pada keadaan fisikku.
Kadang aku menulis puisi dan cerpen, bahkan, karena sempat mengedit beberapa
terjemahan buku filsafat, aku tertarik menulis renungan filosofisku sendiri.
Dan,
di Malam Paska ini kudengar kaudatang mencariku. Kamu ingin menemuiku dan
meminta maaf. Ah, Maria, aku tak dendam padamu. Aku telah memaafkanmu. Aku kini
sudah mampu menerima. Mana ada wanita secantik kamu sudi mencintai pria tanpa
kaki sepertiku? Namun, setidaknya dulu kita pernah saling mencintai, maka tak
perlu aku memusuhimu. Cintaku lebih besar daripada luka hatiku. Datanglah
sebagai seorang sahabat ke rumahku di Jogja. Kita masih bisa bersahabat, kan?
Pada amplop surat ini tertera alamat dan nomor telepon serta HP-ku.
Selamat
Paska, Maria. Sampai jumpa. Damai Kristus.
14 Maret 2010
Padmo “Kalong Gedhe”
Adi
Comments
Post a Comment