IN MEMORIAM, HADRIANUS DENDA SURANA

IN MEMORIAM, HADRIANUS DENDA SURANA   Bapak dan aku waktu masih kecil Dua puluh tahun yang lalu, hari ini, 29 April 2004, aku tengah asyik latihan teater bersama kawan-kawan teater Biroe di SMA PL St. Yosef, Surakarta, tatkala aku diberitahu bahwa aku sudah dijemput untuk pulang.   Dijemput? Pulang? Aku masih latihan teater!   Ternyata Om Agung yang menjemput. Tumben. Langsung saja aku pamit pada kawan-kawan untuk mengikuti jemputan itu. Pulang. Di sekolah juga ada Om Kokok. Lho, kok yang menjemput sampai dua orang omku segala? Ada hal gawat apa ini?   Dalam perjalanan pulang, Om Agung memboncengkanku naik motor Suzuki tua, yang kami namai Plethuk. Kami terdiam. Tidak bicara. Aku juga tidak curiga.   Beberapa hari yang lalu aku menjenguk bapak di rumah sakit. Bapak akan operasi. Aku diminta membawa pulang buah anggur yang banyak.   "Gawanen mulih." "Lha Bapak?" "Aku wis cukup."   Kubawa pulang buah anggur itu dan kusimpan di

BAYANGKAN SAJA

BAYANGKAN SAJA

1. Bayangkan, kauhidup dikelilingi tembok setinggi 8 meter. Di balik tembok itu ada dunia yang penuh warna dan kaya... memesona, tetapi sama sekali tak ramah padamu. Namun, untuk keluar dan masuk rumahmu, yaitu melewati tembok 8 meter tersebut, kauharus diperiksa oleh tentara... bahkan antri dengan saudara-saudaramu yang lain. Padahal, suplai kebutuhan pokok hanya ada di sebalik tembok itu! Bisa jadi kaubekerja pada suatu tempat yang terletak di balik tembok itu. Ketika kaucoba untuk melawan, kauluncurkan RPG, tembok itu ternyata memiliki sistem pertahanan untuk menghancurkan RPG-mu itu. Lalu, dengan putus asa kaulemparkan molotov... kaupun diberondong bak anjing kudisan. Bayangkan... .

Atau... coba bayangkan ini... sedikit surealis... mmm... coba bayangkan bahwa duniamu sekarang ini ternyata tidak tak terbatas, tetapi dibatasi oleh tembok yang sangat tinggi menjulang ke langit... dan di sebalik tembok itu hanya ada kehampaan dan kematian... .

Atau, mungkin kaubermain Mobbles. Bayangkan kauharus menangkap monster yang berada di sebalik tembok semacam itu. Akankah kaurela sekadar antri berdesak-desakan melewati tembok itu untuk menangkap monster itu, lalu kepada tentara yang memeriksamu kaukatakan bahwa kautengah berburu monster sembari menunjukkan Radar Mobbles? Atau, apakah 'kau justru memilih untuk memanjat tembok laknat itu... walaupun mungkin sebuah peluru akan menghujam kepalamu?

Atau... ini sederhana... bayangkan kauhidup dikurung di dalam tembok tak berpintu dan jendela. Bayangkan saja.

2. Bayangkan kauhidup di daerah pegunungan kapur. Di sana kering kerontang tak ada air, kecuali air tanah yang mengalir dan sesekali merembes di sana sini. Dengan air itulah engkau membasahi tumbuh-tumbuhanmu, juga kerongkonganmu serta kerongkongan ternakmu yang tak seberapa banyak itu. Kemudian, dengan alasan percepatan pertumbuhan ekonomi negara, perusahaan tambang plat merah mulai membangun tambang semen di dekat desamu. Engkau dan tetangga-tetanggamu tak pernah diberi tahu soal AMDAL, tapi yang kautahu, pabrik itu akan merusak sungai bawah tanah, yang dengannya kaubertahan hidup. Gubernurmu, yang sewaktu kampanye berkoar-koar soal keberpihakannya terhadap petani-nelayan, tidak berbuat bahkan tidak berbicara banyak soal hal itu. Mungkin dia pura-pura tidak tahu. Lalu, ibu-ibu di desamu, juga ibumu, sepakat untuk melakukan aksi, memblokade akses masuk ke lokasi tambang. Namun, kemudian para preman sewaan, tentara, dan polisi berdatangan, menginjak-injak, bahkan melempar serta membanting ibu-ibu itu, juga ibumu. Bayangkan saja.

3. Bayangkan kauadalah seorang petani. Kaupunya sawah yang cukup untuk menghidupimu sekeluarga. Turun temurun kautelah hidup dan bertani di sana; bapakmu petani, kakekmu petani, bapak kakekmu petani, kakek kakekmu petani, bapak dari kakek kakekmu pun petani. Jika saatnya tiba, kauselalu taat membayar pajak kepada negara. Bahkan, kaupunya surat sertifikat tanah. Akan tetapi, pada suatu hari yang tak pernah kaulamunkan dan impikan, sebuah perusahaan perumahan datang. Dia bilang itu tanah adalah tanahnya. Engkau pun ditantang ke pengadilan. Kausetuju dengan harapan akan memperoleh keadilan. Namun, celaka, pengadilan yang korup dan tak berhati nurani itu memenangkan perusahaan perumahan itu. Engkau pun diultimatum untuk segera meninggalkan tanah itu sesegera mungkin. Tentu kaumenolak. Siapa yang sudi meninggalkan tanah moyangnya dengan tak adil macam itu? Kaubersikukuh. Akan tetapi, sepasukan polisi, lengkap dengan helm, sepatu lars, pentungan, perisai, dan water-canon, yang dibeli dari uang pajak yang kaubayarkan, datang mengganyangmu serta mengusirmu. Bayangkan saja.

4. Bayangkan kauhidup di sebuah kesultanan. Kesultanan itu sebenarnya sempit dan geliat kehidupannya terpusat di ibu kota, sedangkan kautinggal di pinggiran kesultanan itu, di daerah yang gersang, berpasir, dan hampir mustahil ditumbuhi tanaman. Ya, bayangkan kautinggal di pantai pesisir sebuah kesultanan. Akan tetapi, engkau bersama-sama dengan kawan-kawanmu berhasil menyulap tanah berpasir itu menjadi perkebunan buah yang melimpah. Kalian bisa hidup sejahtera tanpa harus menetek kepada pusat kesultanan. Namun, sang sultan pada suatu hari menghendaki tanahmu. Beliau hendak membangun bandara, pelabuhan, dan pertambangan di sana. Bersama kawan-kawan engkau menolak. Sang sultan berang. Beliau mengutus para preman untuk berbuat onar di tempatmu. Engkau pun dikriminalisasi karena dengan berani mengorganisasi kawan-kawanmu untuk melawan sang sultan. Engkau ditangkap, dijerat tuduhan palsu, dan kini dipenjara. Bayangkan saja.

16 Juli 2014
Kalong Gedhe

Comments