Banalitas
Genosida 1965
-Padmo
Adi-
Pendahuluan
Pada akhir tahun 2014 Indonesia mengadakan
acara menonton bersama film Senyap (The
Look of Silence) secara serentak di berbagai kota. Film itu merupakan
sekuel dari film Jagal (The Act of
Killing). Berbeda dengan Jagal,
senyap menyajikan kisah pasca-pembantaian 1965 dari sisi korban. Adi, adik
kandung dari salah satu korban genosida masal 1965, berkeliling menemui para
penjagal kakaknya. Meskipun ada pertemuan yang melahirkan rekonsiliasi kecil
antara Adi dengan keluarga penjagal, lebih banyak pertemuan yang melahirkan
ketegangan: keluarga penjagal tidak ingin apa yang telah dilakukan oleh
bapak/suami mereka di masa lalu itu diungkit-ungkit oleh Adi, si penjagal
sendiri tidak ingin diingatkan oleh Adi atas apa yang telah mereka lakukan,
atau Adi yang merasa terteror karena si penjagal masih berkuasa (sebagai
anggota Dewan, misalnya) dan masih bisa melakukan hal buruk kepada keluarga
korban genosida 1965 yang masih hidup. Banyak kritik dan ulasan dilancarkan
oleh Orang-orang Kiri di Indonesia atas film tersebut, salah satunya adalah
bahwa Senyap, tidak jauh berbeda dari Jagal,
merupakan sebuah film orientalis yang menggambarkan bahwa si sutradara, Joshua
Oppenheimer, seorang bule Amerika, datang sebagai “pahlawan” yang mencerahkan
Orang-orang Indonesia atas kekejaman yang pernah mereka lakukan terhadap
keluarganya sendiri di tahun 1965-1966 tanpa memberi perspektif bahwa kepentingan
(perusahaan-perusahaan) Amerika Serikat (seperti Freeport, misalnya) ada di
balik panggung drama berdarah tersebut. Ada juga Orang Kiri Indonesia yang
mengkritik bahwa sudut pandang film itu melulu humanis-moralis karena mengesampingkan
faktor kekerasan sistematis yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru beserta
aparatus militernya yang didukung (dengan dana dan senjata) oleh Amerika
Serikat. Bahkan, ada juga Orang Muslim yang menilai bahwa film Senyap itu islamofobia,
dengan menghadirkan tokoh protagonis Adi, yang mahir yoga dan berprofesi
sebagai optometris (tukang kacamata), datang berkeliling menemui dan memberi
pencerahan kepada tokoh-tokoh antagonis (para penjagal kakanya) yang kini sudah
tua, rabun, dahulu gemar meminum darah (secara harafiah), tapi taat shalat lima
waktu. Kritik dan ulasan itu muncul dari Orang-orang Indonesia yang menonton
film itu. Kita bisa membayangkan ada banyak Orang Indonesia dengan ‘usus yang
panjang’ bersedia melihat film yang menghadirkan kembali luka-luka dan ingatan
sejarah 1965 dari persepktif si Joshua, sebelum mengutarakan pendapat mereka.
Akan tetapi, ternyata jauh lebih banyak jaringan organisasi massa, bersama
dengan Angkatan Darat, melakukan pelarangan, intimidasi, pengancaman, dan
bahkan pembubaran (dengan kekerasan) acara nonton
bareng film Senyap (The Look of
Silence) tersebut.
Paper
ini dibuat pada hari-hari terakhir tahun 2014. Ada waktu sekitar 49 tahun
antara kita dengan peristiwa pembantaian 1965 itu. Akan tetapi, kita belum juga
berani menatap peristiwa itu dari sudut pandang alternatif, sudut pandang
korban. Sudut pandang yang ditanamkan ke dalam kepala kita adalah sudut pandang
para pahlawan: bahwa korban 1965, baik yang sudah mati, maupun yang masih hidup,
juga keluarga dan anak-cucu mereka, layak menerima dan mengalami kekerasan tersebut
karena mereka (dituduh) komunis, dan komunis itu kejam, jahat, dan bengis,
sehingga mereka yang berani membunuh komunis adalah pahlawan. Gambaran bahwa komunis
itu kejam-jahat-bengis, bahkan diidentikkan dengan iblis itu, menjadi
legitimasi kekerasan berdarah dan diskriminasi yang dilakukan terhadap para
korban 1965 dan keluarga mereka. Kita boleh membunuh Si A atau Si B, dan dapat
melenggang santai tanpa diadili, bahkan boleh merasa menjadi pahlawan, semata
karena Si A atau Si B itu dituduh komunis. Kita boleh memperkosa dan memutilasi
Si C atau Si D, tanpa harus takut dengan dosa, selama Si C atau Si D itu
dituduh Gerwani. Pertanyaan saya adalah: Mengapa Orang-orang Indonesia begitu
ketakutan dengan komunisme, bahkan hanya mendengar kata “komunis” saja bulu
kuduk Orang Indonesia merinding? Dan, mengapa ketakutan atas komunisme, yang
diikuti dengan kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi terhadap keluarga korban
kekerasan 1965, itu masih bercokol kuat di dalam benak Orang Indonesia, bahkan
setelah Orde Baru, kekuatan politik-budaya-militer yang mengusung ide
antikomunisme, tumbang?
Sebenarnya
Wijaya Herlambang menyajikan salah satu alternatif jawaban dari pertanyaan semacam
itu lewat bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965.
Wijaya Herlambang menemukan bahwa para budayawan yang mengusung ideologi Humanisme-Universal,
atau yang secara praktis turut serta menandatangani Manifesto Kebudayaan,
adalah para aktor yang menghadirkan kondisi, suasana, nuansa, dan atmosfir
antikomunis melalui karya-karya seni mereka. Akan tetapi, sebelum saya mengulas
jawaban yang ditemukan Wijaya Herlambang, saya akan terlebih dahulu menelusuri tulisan
Marshall Green, seorang Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang bertugas di Indonesia saat peristiwa
1965 itu terjadi. Kita akan mencoba melihat dari kaca mata Paman Sam, lewat
mulut salah satu Duta Besarnya, bagaimana negara Adidaya itu melihat posisi
Indonesia pada masa Perang Dingin. Pada masa itu, Amerika Serikat memiliki
harapan kepada Republik Indonesia, bahwa negara kepulauan terbesar di kawasan
Asia Tenggara tersebut semakin bergerak ke Kanan, semakin menjadi liberal,
semakin kondusif bagi kapitalisme, dibawah kekuatan militer yang menjaga status quo.
Pada
Mulanya
Segala
kekerasan berdarah, pembunuhan sadis, penangkapan tanpa peradilan,
diskriminasi, intimidasi, dan segala perlakuan biadab lainnya yang dilakukan
kepada puluhan ribu, bahkan jutaan penduduk sipil Indonesia yang dituduh kader
PKI itu mendapatkan legitimasinya. Para penjagal (baik Angkatan Darat maupun
ormas sipil) yang melakukan itu merasa bahwa mereka tengah melakukan “tindakan
kepahlawanan”, menegakkan keadilan, membasmi iblis dari muka bumi, membalaskan
dendam tujuh perwira Angkatan Darat yang darahnya tak berdosa, dan menegakkan
kembali Kesaktian Pancasila yang hendak ditumbangkan. Peristiwa penculikan dan
pembunuhan enam Jendral dan satu letnan Angkatan Darat itu merupakan puncak
dari persaingan antara Angkatan Darat dan PKI untuk meraih dominasi kekuasaan
dan pengaruh politik di seluruh Indonesia. Pada saat itu Presiden Soekarno
sudah beranjak tua dan sakit-sakitan. Ada sebuah pertanyaan, jika sang
proklamator kemerdekaan ini wafat, siapakah yang akan menggantikannya berkuasa
di Indonesia? PNI, partai yang didirikan oleh Soekarno, sudah tidak lagi
menjadi mesin politik yang efisien baginya. Basis massa yang menjadi kekuatan
berdiri Soekarno adalah justru ada pada PKI, partai komunis terbesar ketiga di
dunia, dan partai komunis pertama dan terbesar di Asia Tenggara. Soekarno
semakin condong ke Kiri, semakin dekat dengan PKI, bahkan berkata, “Ya sanakku, ya kadangku, yen PKI mati, aku
melu kelangan.”
Sementara TNI terpecah menjadi dua: satu kelompok setia pada Soekarno bahkan
mendukung PKI (AL, AU, sebagian AD, dan POLRI) dan satu kelompok antikomunis
(AD). Dua lawan politik ini, PKI dan AD, saling curiga bahwa pihak yang satunya
hendak mengambil alih kekuasaan itu lewat suatu kudeta di saat Soekarno masih
hidup. Angkatan Darat menginginkan ada alasan kuat untuk menyerang PKI, akan
tetapi enggan mengambil langkah pertama. Di sisi lain, PKI dan para
pendukungnya di dalam TNI percaya bahwa akan segera terjadi kudeta militer dari
sayap Kanan, sehingga mereka hendak mendahuluinya dengan mempermalukan pemimpin
tentara dengan cara menculik mereka.
Sejarah pun mencatat bahwa pada 30 September 1965 malam (01 Oktober 1965 dini
hari) para pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa, pimpinan Kolonel Untung,
melancarkan operasi militer untuk menculik tujuh pemimpin senior Angkatan
Darat: Nasution, Ahmad Yani, Suprapto, Soetoyo, Haryono, Panjaitan, dan S.
Parman. Namun, Nasution berhasil meloloskan diri. Pasukan Cakrabirawa mengejar Nasution,
tetapi mereka keliru menangkap Tendean, ajudan Nasution. Rencana
yang awalnya hanya ingin mempermalukan Angkatan Darat (yang dipercaya akan
segera melakukan aksi kudeta militer sayap Kanan dengan membentuk Dewan
Jendral) itu berjalan terlalu jauh. Orang-orang Angkatan Darat yang diculik itu
kemudian dibunuh, bahkan ada yang ditembak di tempat karena melawan. Gerakan
itu oleh Kolonel Untung diberi nama Gerakan 30 September. Salah satu petinggi
Angkatan Darat yang tidak dijadikan target operasi itu adalah Jendral Soeharto,
komandan Kostrad.
Marshall
Green, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang sedang bertugas pada
waktu itu, mencatat bahwa Menteri Pertahanan Jendral Nasution adalah target
terbesar di antara yang lainnya. “Untung bagi Tentara dan sebuah Indonesia yang
non-komunis di masa depan,” kata Green, “bahwa Jendral Soeharto rupanya tidak
dijadikan target, mungkin karena dia bukan staf langsung Jendral Yani atau
berada di garis teratas komando.”
Soeharto sendiri mengaku bahwa pada malam itu dia tengah berada di rumah sakit
untuk menunggui anaknya yang sakit. Bahkan, kabar mengenai penculikan para
Jendral itu didengarnya bukan dari staf Angkatan Darat, melainkan dari sipil.
Amerika
Serikat bergerak dengan dua tangan dalam menangani Indonesia dan Soekarno. Satu
tangan adalah tangan yang legal, yaitu Duta Besarnya, Marshall Green, sedangkan
tangan yang lain adalah tangan yang bergerak di bawah meja, yaitu CIA. Sebagai
Duta Besar Amerika Serikat, Green bingung atas apa yang terjadi pada 30
September 1965 malam (01 Oktober 1965 dini hari) tersebut. Green mengaku bahwa
pada malam itu dia tengah menyaksikan pertunjukan wayang. Green mengatakan
bahwa dia pulang dari pertunjukan itu setelah lewat tengah malam. Jalan-jalan
sepi, senyap, tak ada suara senjata sama sekali, juga tak ada kendaraan lapis
baja lewat, meskipun Jendral Ahmad Yani, salah satu korban yang ditembak di
tempat, adalah tetangganya. Keesokan harinya, tanggal 01 Oktober 1965, pada
pukul 08.00 RRI melaporkan bahwa “Gerakan September Tiga Puluh” telah
menyelamatkan Presiden Soekarno dari kudeta CIA yang melibatkan “Dewan Jendral”.
Berita RRI itu disusul dengan sebuah dekrit di bawah nama Letnan Kolonel
Untung, pemimpin pasukan elit pengaman presiden, Resimen Cakrabirawa, bahwa
negara akan dipimpin di bawah sebuah “Dewan Revolusioner Indonesia”. Nama-nama
anggota “Dewan Revolusioner Indonesia” tersebut diumumkan pada tanggal 01
Oktober 1965 siang hari. Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia segera
menyimpulkan bahwa kudeta itu adalah prokomunis. Kedutaan Besar Amerika Serikat
pun menyadari bahwa nama-nama anggota “Dewan Revolusioner Indonesia” itu
disusun secara mentah. Kedutaan Besar Amerika Serikat pun segera mengirimkan
telegram kepada Washington. Kedutaan Besar Amerika Serikat menduga bahwa Letkol
Untung dan pasukannya semata hanyalah pion PKI. Mereka mencatat bahwa dalang di
balik peristiwa itu adalah Komandan AU Marsekal Omar Dhani dan Ketua PKI D.N.
Aidit. Mereka juga mencatat bahwa Marsekal Omar Dhani dan Aidit pada waktu itu
berada di markas besar gerakan kudeta, yaitu Lanud Halim, bersama dengan
Presiden Soekarno sendiri dan Brigadir Jendral Supardjo.
Brigjend Supardjo, salah satu ajudan Soekarno, seharusnya berada di Kalimantan
sebagai pemimpin perang terhadap Malaysia, tetapi Green mencatat bahwa dia
kembali ke Jakarta untuk mengomando kudeta.
Mimpi
yang Menjadi Nyata: Kudeta Gagal
Gerakan
itu segera mendapatkan perlawanan sengit dari Jendral Soeharto. Pada tanggal 01
Oktober 1965 sore, Jendral Soeharto dan pasukannya segera menyerbu Lanud Halim.
Gerakan itu diminta untuk menyerahkan diri atau akan dihajar oleh Soeharto dan
pasukannya yang jauh lebih kuat. Sebuah kudeta gagal PKI yang diimpikan Amerika
Serikat sepertinya terwujud menjadi nyata. Amerika Serikat memang menghendaki
PKI melakukan sebuah upaya kudeta yang gagal, sehingga ada cukup dalih dan
alasan bagi elemen antikomunis Indonesia untuk menyingkirkan mereka, sehingga
pada akhirnya menumbangkan Soekarno. Green mencatat bahwa Soekarno dengan
frustasi segera pergi ke Istana Bogor meninggalkan Gerakan itu. Sementara itu,
Ketua PKI, D.N. Aidit, melarikan diri ke Jawa Tengah, meninggalkan sisa-sisa
dari Gerakan itu.
Pada
tanggal 03 Oktober 1965 Presiden Soekarno baru menyadari bahwa Jendral Nasution
selamat dari Gerakan itu. Soeharto pun semakin kuat memegang kendali Angkatan
Darat. Presiden Soekarno berusaha untuk tidak mengasosiasikan dirinya dengan
para dalang dari Gerakan itu. Walaupun demikian, dengan kekuasaan Presiden yang
dia miliki, Soekarno terus berusaha untuk melindungi PKI. Di sisi lain,
Soekarno sendiri semakin dicurigai terlibat dengan Gerakan September Tiga Puluh
(GESTAPU) tersebut. Perlindungan yang diberikannya kepada para pemimpin PKI,
kehadirannya di Lanud Halim pada tanggal 01 Oktober 1965 pagi, dan sikapnya
yang tidak menunjukkan simpati terhadap para jendral yang dibantai semakin
membuatnya dicurigai terlibat. Apa lagi, Soekarno menyadari bahwa satu-satunya
yang menentang keras atas NASAKOM, dan termasuk ide Angkatan Kelima itu, adalah
Angkatan Darat, terutama para petingginya. Maka, untuk mewujudkan gagasan
NASAKOM, para petinggi Angkatan Darat itu harus dienyahkan.
Dimulainya
Genosida
Franz
Magnis-Suseno, SJ, mengatakan bahwa sebaiknya kita membedakan peristiwa “1965”
itu ke dalam tiga tahap.
Tahap pertama adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan Dewan Jendral oleh
Gerakan 30 September. Tahap kedua dimulai kira-kira pada pertengahan Oktober
1965. Tahap ini adalah tahap yang paling mengerikan. Pada tahap ini, penduduk
sipil yang dituduh kader atau simpatisan PKI dibantai dengan sadis.
“Pembersihan” secara total dilakukan di beberapa daerah seperti di Jawa bagian
tengah (Jawa Tengah dan Yogyakarta), Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, bahkan
Flores. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, pembantaian itu dilakukan oleh Angkatan
Darat (RPKAD, sekarang Kopassus). Franz Magnis-Suseno mencatat bahwa aksi
pembantaian di Jawa Tengah dan Yogyakarta itu sama sekali tidak melibatkan masyarakat
sipil nonmiliter.
Pembantaian sadis dalam jumlah yang luar biasa terjadi antara bulan November
1965 hingga Januari 1966 di Jawa Timur, Bali, dan daerah lainnya. Di Jawa Timur,
Bali, Sumatera Utara, Flores, dan daerah-daerah lain di Indonesia pembantaian
itu dilakukan oleh masyarakat sipil nonmiliter, walaupun sebenarnya didorong
dan didukung oleh militer. RPKAD yang membantai masyarakat sipil yang dituduh
kader/simpatisan PKI itu dipimpin oleh Sarwo Edhi. John Roosa membuktikan bahwa
sebenarnya Soehartolah yang bertanggung jawab atas genosida massal tersebut.
Soeharto memerintahkan pembekuan media-media massa (koran-koran), hanya memberi
izin terbit kepada beberapa surat kabar tertentu (terutama surat kabar dari
militer), dan merebut kembali RRI supaya memastikan bahwa hanya ada satu versi
kebenaran yang disebarkan dan memastikan bahwa propaganda antikomunis tersebar
dengan cepat dan efektif. Genosida itu dilakukan secara sistematis, bukan
reaksi spontan massa yang sporadis. “Pada akhir tahun 1965,” kata John Roosa,
“utusan-utusan Soeharto bertanya kepada kedutaan besar AS, berapa harga
mayat-mayat komunis itu. Berapa banyak imbalan yang akan mereka dapatkan atas
kesetiaan mereka mengabdi pada kerajaan AS?”
Jumlah
korban sipil genosida itu tidak pernah diketahui secara pasti. Marshall Green
mencatat bahwa kira-kira ada 40.000 hingga jutaan korban.
Pangkopkamtib Sudomo, sebagaimana ditulis oleh Franz Magnis-Suseno, menyebutkan
angka 1,9 juta orang korban.
Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang menjadi “korban” pada tahap ketiga.
Tahap ketiga adalah tahap di mana Soeharto menanamkan dalam alam bawah sadar seluruh masyarakat
Indonesia bahwa apapun yang berbau komunis adalah jahat semata-mata. Tahap ini
adalah tahap di mana masyarakat dicekoki teror sehingga mengalami trauma yang
mendalam, bahkan saking dalamnya, trauma itu tidak begitu saja hilang setelah
Soeharto dilengserkan pada 21 Mei 1998. Secara sistematik dan birokratis jutaan
orang yang dituduh kader/simpatisan komunis atau merupakan
sanak-keluarga/anak-cucu dari orang yang dituduh demikian mengalami
diskriminasi. Mereka tidak dianggap sepenuhnya Warga Negara Indonesia. Nama
baiknya dicemarkan. Perekonomiannya dihancurkan. Hak-hak politiknya dikebiri.
Mereka disiksa secara fisik dan/atau ditahan tanpa peradilan, seperti yang
terjadi di Pulau Buru. Yang perempuan diperkosa. Kemerdekaan hidupnya dirampas.
KTP-nya diberi tanda khusus. Mereka tidak boleh bekerja di lapangan pekerjaan
tertentu. Mereka harus melapor ke markas polisi/tentara secara berkala.
Anak-cucu mereka mengalami kesulitan mengakses pendidikan, susah masuk sekolah.
Teror dan propaganda antikomunis pada tahap ketiga ini dilakukan pula lewat
produk-produk budaya, seperti misalnya ideologi negara (reinterpretasi
Pancasila sehingga sejalan dengan program antikomunisme dari Orde Baru),
museum, monumen, diorama, relief, folklor, agama, buku-buku pegangan siswa,
materi penataran, film (Pengkhianatan
G30S/PKI yang pada rezim Orde Baru selalu diputar setiap tanggal 30
September malam), ideologi kebudayaan (“Humanisme-Universal”-nya Manikebu),
karya sastra, dan karya seni lainnya.
Bahkan, kata “komunis” dan singkatan “PKI” menjadi kata makian.
Tanggapan
Dunia
Peristiwa
30 September 1965 di Indonesia itu harus kita lihat di dalam konteks Perang
Dingin antara ideologi komunisme Uni Soviet melawan ideologi
liberalisme-kapitalisme Amerika Serikat. Sebagai pemenang Perang Dunia II, dua
negara Adikuasa itu berlomba-lomba menancapkan pengaruhnya seluas-luasnya ke
seluruh dunia. Dunia seakan-akan terbagi ke dalam dua kutub raksasa. Jerman
terpecah menjadi Jerman Barat dan Timur, Korea terpecah menjadi Korea Utara dan
Selatan, Vietnam terpecah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Sementara itu, ketika China Daratan menjadi komunis (Republik Rakyat China),
orang-orang China nasionalis melarikan diri dan meneruskan riwayat negara
nasionalis China (Republik China) di Taiwan.
Amerika
Serikat telah memiliki NATO di Eropa Barat untuk mencegah komunisme. Amerika
pun menjalin persahabatan dengan Inggris Raya, sehingga juga menjalin
persahabatan dengan negara-negara di bawah persemakmuran Inggris, termasuk
Australia dan Selandia Baru. Di Pasifik Amerika menjalin persahabatan dengan
bekas musuhnya, Jepang. Akan tetapi, mereka hampir tidak memiliki akses untuk
memegang Asia Tenggara. Indonesia di bawah Soekarno enggan menjalin kerja sama
dengan Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa dan
Asia lainnya di bawah SEATO. Padahal, Indonesia mencakup daerah paling besar
dan strategis di Asia Tenggara. Sementara itu, Indonesia di bawah Soekarno,
yang pada awalnya bersikap bebas-aktif (netral) terhadap Perang Dingin, bahkan
menjadi salah satu negara pelopor Gerakan Non-Blok, semakin bergerak ke Kiri
mendekati Uni Soviet dan terutama Republik Rakyat China.
Untuk
mencegah komunisme bergerak semakin ke Selatan, Amerika Serikat mengadakan
perang terbuka di Vietnam. Semua perhatian petinggi Amerika terarah ke Vietnam,
sehingga Indonesia dengan segala tingkah Soekarno hanya dipandang sebelah mata
saja. Kebijakan-kebijakan Soekarno yang membuat Indonesia semakin bergerak ke
Kiri pun hanya dipandang sebagai tingkah nyentrik saja. Washington memang tetap
berang terhadap keputusan Soekarno berperang dengan Malaysia, ancaman Soekarno
menasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat termasuk Caltex dan
Goodyear, pidato “to hell with your aid”
Soekarno, keputusan Soekarno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB, dan
hubungan dekat Indonesia dengan Uni Soviet, RRC, Vietnam Utara, dan Korea
Utara. Akan tetapi, Washington hanya menganggap bahwa Soekarno melulu melakukan
gertak sambal saja. RRC bahkan jauh lebih serius dalam menanggapi Indonesia
dari pada Amerika Serikat pada waktu itu.
Indonesia memang memiliki Partai Komunis terbesar di Asia Tenggara dan bahkan
sangat dekat dengan negara-negara komunis, tetapi Amerika Serikat tidak
menganggap Indonesia sebagai kekuatan komunis yang potensial.
Jikapun
Amerika Serikat harus berurusan dengan Indonesia di bawah Soekarno perihal
komunisme, Amerika Serikat tidak menginginkan pendekatan yang sama seperti yang
mereka lakukan terhadap Vietnam: perang terbuka. Jikapun komunisme harus dilenyapkan
dari bumi Indonesia, Amerika Serikat ingin agar tangannya tetap bersih. Kita
semua tahu bahwa Amerika Serikat mendapat kecaman dan protes hebat dari para
akademisi Eropa dan pemuda di Amerika Serikat sendiri perihal perang Vietnam,
dan bahwa Amerika Serikat kalah di sana.
Amerika
Serikat pun bergerak dengan dua tangan. Satu tangan yang legal adalah melalui
para Duta Besarnya, sedangkan satu tangan lainnya bergerak di bawah meja (CIA).
Pada awalnya mereka mengutus Howard P. Jones. Namun, Duta Besar itu justru
menunjukkan simpatinya terhadap Soekarno, bahkan mengaguminya. Howard P. Jones
seakan-akan jatuh cinta dengan eksotisme Indonesia. Kemudian, dia ditarik pada
tanggal 24 Mei 1965 dan digantikan oleh Marshall Green.
Hampir
seluruh karir Marshall Green yang menyangkut Hubungan Luar Negeri berhubungan
dengan usaha Amerika Serikat mengakarkan pengaruhnya di Asia Timur dan Pasifik
Barat. Marshall Green sangat berpengalaman soal urusan Amerika Serikat di Asia
Timur. Marshall Green sudah bertugas untuk urusan Amerika Serikat di Asia Timur
ketika Perang Dunia II. Kemudian, dia terus melanjutkan tugasnya berurusan
dengan Asia Timur pascaperang; dia berkesempatan melihat negara-negara Asia
Timur dan Tenggara bangkit dari perang dan kolonialisme. Tidak seperti Howard
P. Jones, Marshall Green sama sekali tidak menyukai Soekarno. Dia bertugas di
Indonesia 26 Juli 1965 hingga 26 Maret 1969.
Amerika
Serikat memang ingin mencegah komunisme berkembang di Asia Timur, juga di
Indonesia, tetapi mereka enggan untuk terlibat secara langsung. Amerika Serikat
melihat bahwa sebenarnya di Indonesia terdapat gerakan-gerakan antikomunis,
juga di dalam tubuh Angkatan Darat. Akan tetapi, mereka tidak kunjung melakukan
apa-apa untuk melawan arus komunisme yang cepat dan massif di Indonesia.
Angkatan Darat pun diam tak bergeming. Di tubuh TNI sendiri, kebanyakan tentara
sangat setia kepada Soekarno. Kehadiran John F. Kennedy dan persahabatannya
dengan Soekarno sebenarnya meredakan ketegangan hubungan Jakarta-Washington,
tetapi ternyata dia ditembak mati di dalam sebuah konspirasi besar yang
melibatkan “orang dalam”.
Pascagenosida
1965, Soekarno perlahan-lahan dilucuti dari segala kekuasaannya. Soekarno, yang
sudah ditetapkan sebagai presiden sumur hidup itu, dipaksa untuk menandatangani
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Surat itu menjadi dasar legitimasi
munculnya Soeharto sebagai pemimpin Indonesia. Soekarno pun dijadikan “presiden
boneka”. Soekarno memang secara de iure
adalah Presiden Indonesia pada saat itu, tetapi de facto yang menjadi presiden adalah Soeharto. Soekarno akhirnya
menyerahkan kekuasaannya pada tanggal 20 November 1967 setelah dilengserkan
melalui sidang MPRS yang diketuai oleh Jendral Nasution. Soeharto kemudian
dilantik sebagai presiden menggantikan Soekarno. Semenjak itu, Indonesia
berbalik arah, bergerak ke Kanan. Kran investasi asing dibuka kembali
selebar-lebarnya.
Jatuhnya
Soekarno ini tentu disambut dengan tempik-sorak oleh negara-negara Barat yang
selamanya menganggap Soekarno sebagai penghalang terakhir untuk mengeksploitasi
alam Indonesia. Barat segera menawarkan hutang, bahkan ketika Soekarno masih
menjadi presiden de iure. Indonesia
segera bergabung kembali dengan IMF dan Bank Dunia. Pada Februari 1967 di
Amsterdam diadakan pertemuan IGGI (the Inter-Governmental Group on Indonesia),
yang beranggotakan empat belas negara donor dan lima organisasi internasional
(IMF, Bank Dunia, Development Program dari PBB, OECD, dan the Asian Development
Bank).
Tak ketinggalan pula Jepang turut masuk menawarkan investasi.
Koran-koran
borjuis Prancis turut serta memberitakan peristiwa Genosida 1965 itu dan
memberi kesimpulan yang bisa membuat kita yang hidup di masa ini mengernyitkan
dahi. Heinz Schüte mencatat, “Pesan yang disampaikan pers borjuis Prancis itu
jelas: Pembantaian mengerikan itu --yang para korbannya bagaimanapun juga
dikatakan kurang lebih pasrah menerima hal-hal yang tak terelakkan, yakni untuk
membersihkan masyarakat dan membangun masa depan yang lebih baik-- harus
diterima, meskipun dengan rasa sesal. Dikatakan bahwa orang-orang yang dibunuh
itu merupakan collateral damage (korban-korban yang jatuh tanpa disengaja) --tapi
tak terhindarkan-- demi meraih tujuan yang konon baik dan lebih tinggi.”
Richard
Tanter menulis bahwa pembunuhan massal itu tentunya merupakan prasyarat bagi
dukungan berikutnya yang diberikan oleh Australia, Amerika, dan Jepang untuk
Orde Baru.
Bagaimana media massa Australia melihat dan memberitakan peristiwa berdarah
mengerikan itu? Australia, sebagaimana Amerika Serikat, pada waktu itu
memandang Indonesia sebagai yang benar-benar Liyan, yang ditandai dengan
ketidakdewasaan. Mereka memakai pandangan stereotipe khas orientalis. Genosida
itu dipandang sebagai aksi irasional orang-orang Indonesia (dibandingkan dengan
orang-orang Australia yang rasional). Koran-koran Australia menggambarkan
bagaimana pembantaian mengerikan itu hanyalah semata aksi amuk haus darah penuh
dendam antarmasyarakat sipil. Mereka mengabaikan peran langsung Angkatan Darat
dengan senjata dan bayonetnya. Bahkan, mereka enggan melihat bahwa ada peran
asing di balik peristiwa pembantaian jutaan warga sipil Indonesia tersebut.
Yang lebih membikin kita merasa ngeri adalah pernyataan Perdana Menteri
Australia, Harold Holt. Richard Tanter mengutip kata-kata Harold Holt:
“Dengan dibunuhnya (knocked off)
500.000 sampai 1 juta simpatisan komunis, saya pikir aman untuk berasumsi bahwa
perubahan orientasi telah terjadi.”
Memang dia dan
rekan-rekannya tidak menyembunyikan kegembiraannya atas dibasminya PKI, tetapi
pernyataannya sungguh bisa dijadikan contoh bagaimana Barat (Amerika, Eropa,
dan Australia) telah “mati rasa”. Bagaimana mungkin sebuah genosida, pembunuhan
massal, dianggap sesuatu yang normal?
Lalu,
bagaimana dengan Uni Soviet? Bagaimana sikap Uni Soviet, negara komunis
terbesar itu, melihat dibantainya orang-orang PKI (beserta semua penduduk sipil
yang dituduh kader/simpatisan PKI)? Kita tentu berpikir bahwa sudah layak dan
seharusnya Uni Soviet, sebagai negara komunis terbesar, memberikan dukungan,
bantuan, dan aksi-aksi yang relevan untuk mencegah partai komunis terbesar ketiga
di dunia itu musnah. Hubungan Jakarta-Moskow itu seperti cinta segitiga.
Walaupun sama-sama komunis, hubungan Moskow-Beijing retak. Terdapat friksi
China-Soviet. Uni Soviet membantu Indonesia mengadakan serangan ke Papua Barat
dan mengganyang Malaysia. Uni Soviet juga membantu Indonesia membangun
proyek-proyek prestisius seperti pembangunan kompleks olah raga di Senayan.
Akan tetapi, ketika Soekarno semakin dekat dengan PKI (yang lebih pro-China
dari pada pro-Soviet), bahkan benar-benar mendekati Republik Rakyat China,
Moskow memutuskan hubungannya dengan Jakarta. Hubungan itu dijalin kembali pada
akhir tahun 1964 dan awal tahun 1965. Walaupun antara Komunis Soviet dengan PKI
terjadi ketidakharmonisan, keduanya masih menjalin hubungan resmi. Sudah sejak
1926 Soviet selalu melarang PKI untuk memberontak, “Waktunya belum tiba!”
sehingga bisa dipastikan bahwa Uni Soviet sama sekali tidak turut terlibat di
dalam Gerakan 30 September itu, mencium gelagat rencana peristiwa itu pun tidak.
Sehingga, ketika peristiwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari itu
terjadi, dan diikuti dengan pembantaian terhadap orang-orang PKI, Uni Soviet
tetap bersikap tenang, sebuah sikap yang bahkan membuat Kedutaan Jerman Barat
di Indonesia terkejut. Ragna Boden menulis, “[S]oviet mungkin lebih menyukai
jika PKI dibasmi, dari pada tetap hidup sambil terus mendukung China dan
semakin berorientasi anti-Soviet.”
Akan tetapi, akhirnya Uni Soviet berbicara juga ketika pembantaian itu mencapai
puncaknya. Walaupun demikian, Uni Soviet tidak berbuat sesuatu hal pun yang
berarti untuk mencegahnya. Malah, Uni Soviet berusaha menjalin hubungan dengan
rezim militer Indonesia (Soeharto), bahkan memasok senjata untuk pemerintahan
baru Indonesia tersebut.
Pengkondisian
Propaganda
antikomunisme itu disebarkan salah satunya lewat produk-produk budaya. Justru
propaganda lewat produk-produk budaya itu jauh lebih efektif menyusup dan
berakar kuat dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Jika di tempat lain
sejarah menjadi karya seni, di Indonesia rumor menjadi karya seni lalu menjadi
sejarah. Masyarakat mengingat detail peristiwa 30 September 1965 malam itu
melalui film Pengkhianatan G30S/PKI
dan lewat versi novelnya. Padahal, kekerasan dan penyiksaan yang ditampilkan di
film itu tidak dapat diafirmasi oleh data-data visum et repertum dokter. Tidak ada luka sayatan silet, tidak ada
pencungkilan mata, dan tidak ada pengebirian penis. Yang ada adalah luka tusukan
benda tajam, lubang peluru, dan patah tulang akibat pukulan keras benda tumpul.
Wijaya Herlambang, lewat bukunya Kekerasan
Budaya Pasca 1965, menemukan bahwa Genosida 1965 itu mendapatkan
pembenarannya lewat kebudayaan. Para agen-agen kebudayaan yang bergerak di
bawah ideologi Humanisme-Universal, lewat produk-produk budaya mereka,
menghadirkan atmosfir, nuansa, dan suasana yang mendukung antikomunisme dan
trauma Genosida 1965 langgeng hingga sekarang.
Melalui
produk-produk kebudayaan itu, masyarakat dicekoki dengan teror. Masyarakat
wajib membatinkan bahwa komunis itu sama dengan iblis: kejam, sadis, biadab.
Hal itu membuat para penjagal sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang
telah mereka lakukan, bahkan menganggap diri pahlawan. Masyarakat pun dihantui
dengan ingatan bahwa mereka yang dituduh dan dicap PKI begitu saja hilang tak
berbekas. Hal itu membuat kekejian Genosida 1965 hampir tidak pernah
dibicarakan, ditutup rapat-rapat, seakan-akan tidak pernah terjadi. Kalaupun
dibicarakan, Genosida 1965 itu dibicarakan dengan bisik-bisik, dengan penuh
rasa takut.
Melalui
produk-produk kebudayaan itu pula ideologi liberalisme, yang merujuk pada
semangat ideal Barat (Eropa Barat dan Amerika Serikat), disuntikkan. Masyarakat
dikondisikan untuk membatinkan ideologi liberalisme dan pandangan
Humanisme-Universal. Cara berpikir dan sudut pandang masyarakat diset
sedemikian rupa supaya kepentingan politik-ekonomi jangka panjang Barat,
khususnya Amerika Serikat, di Indonesia memiliki jaminan keamanan. Pembangunan
sistem perekonomian dan model masyarakat yang berorientasi ke Barat (Amerika
Serikat) menjadi tujuannya. Ideologi liberalisme dan pandangan
Humanisme-Universal itu menciptakan suatu masyarakat seri, yang tidak lagi
terorganisasi, sehingga tidak lagi kritis dan tidak lagi memiliki basis massa
yang cukup kuat untuk meresistensi kepentingan Barat di Indonesia. Para agen
kebudayaan yang turut serta di dalam usaha itu hingga kini masih hidup, bahkan
masih memiliki pengaruh dan legitimasi terhadap kebudayaan Indonesia.
Penutup
Genosida
1965 harus dilihat di dalam konteks Perang Dingin dan juga harus dilihat pula
dalam konteks friksi China-Soviet. Pada era 1960-an, banyak rezim yang didekati
secara intens oleh Moskow tumbang: Ben Bella di Aljazair (Juni 1965), Nkrumah
di Ghana (Februari 1966), dan Keita di Mali (1968). Genosida 1965 adalah sebuah
tindakan pelenyapan basis massa Soekarno, sehingga dengan sendirinya
proklamator itu tumbang. Dengan tumbangnya “penghalang terakhir kepada kekayaan
alam Indonesia” tersebut, negara-negara Barat (beserta segenap korporasinya)
bertempik-sorak dan bergegas berebut masuk ke Indonesia.
Jika
benar bahwa PKI harus bertanggung jawab atas pembunuhan enam jendral dan satu
letnan Angkatan Darat itu, eksekusi Letnan Kolonel Untung dan D.N. Aidit serta
para petinggi PKI lainnya sudah cukup untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi,
ternyata beberapa bulan setelah 30 September 1965 malam itu jutaan rakyat sipil
Indonesia dibantai dengan sadis dan mengerikan. Genosida itu sebenarnya tidak
hanya menimpa kader/simpatisan PKI, tetapi juga dijadikan momentum bagi semua
Orang Indonesia untuk melakukan balas dendam berdarah dengan alasan apapun. Di
Sumatera Utara misalnya, momentum Genosida 1965 itu dijadikan kesempatan untuk
menyingkirkan etnis Jawa di sana. Di Bali momentum Genosida 1965 itu terjadi
dengan cara yang lebih dramatis: saudara merelakan diri dijadikan tumbal untuk
dibunuh saudaranya yang lain demi pulihnya ketentraman di tanah itu. Sementara
di Jawa bagian tengah, Genosida 1965 itu menimpa bukan hanya para
kader/simpatisan PKI, tetapi juga menimpa orang-orang soekarnois (marhaenis),
sebab memang basis massa Soekarno tengah dihancurkan.
Genosida
1965 tidak dilakukan sebagai reaksi yang spontan. Genosida 1965 dilakukan
secara sistematis oleh Angkatan Darat, didukung oleh Barat (Amerika Serikat).
Jikapun di daerah-daerah lain di luar Jawa bagian tengah Genosida 1965 itu
dilakukan oleh masyarakat sipil, mereka melakukannya atas desakan, provokasi,
dan dukungan Angkatan Darat. Genosida 1965 itu menjadi prasyarat mutlak bagi
sebuah pergantian rezim yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Genosida 1965
itu menjadi prasyarat bagi berubahnya haluan politik-ekonomi-sosial-budaya
Indonesia dari Kiri menuju ke Kanan. Genosida 1965 itu adalah sebuah taktik
Soeharto untuk meraih kekuasaan tertinggi di Indonesia. Genosida 1965 adalah
bagian dari kudeta merangkak Soeharto.
Akan
tetapi, narasi-narasi sejarah yang demikian itu ditutupi dan disamarkan oleh
narasi sejarah resmi Orde Baru yang, walaupun memutarbalikkan fakta dan
menjadikan rumor sebagai kebenaran, masih terus diamini hingga detik ini. Kita
masih dihantui oleh mitos yang ditanamkan Orde Baru dengan kuat ke dalam benak
kita. Kita masih trauma atas teror yang wajib kita terima melalui produk-produk
budaya semasa Orde Baru. Bahkan, di antara kita masih menganggap bahwa para
korban Genosida 1965 itu pantas menerima kekejaman yang tidak terperikan itu
karena semata mereka adalah kader/simpatisan PKI. Diskriminasi terhadap para
keluarga korban Genosida 1965 masih terjadi, bahkan setelah Soeharto
dilengserkan. Sebagian dari kita masih enggan untuk melihat kembali sejarah dan
mendengarkan narasi-narasi alternatif.
Selama
kita masih enggan untuk melihat kembali sejarah dan enggan mendengarkan
narasi-narasi alternatif dengan berbagai sudut pandangnya, kita tidak akan
pernah belajar apapun dari sejarah, dan dikutuk untuk mengulanginya. Bahkan,
jangankan kata “peradilan”, kata “rekonsiliasi” pun masih jauh dari kita jika
demikian. Selamanya kita akan menjadi bangsa yang bebal.
Daftar
Pustaka
Green,
Marshall. 1990. Indonesia, Crisis and
Transformation, 1965 - 1968. Washington, D.C.: The Compass Press
Herlambang,
Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965.
Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Schaefer,
Bernd. 2011. 1965, Indonesia and the
World. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Comments
Post a Comment