KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

JOGJA... JOGJA...

JOGJA... JOGJA...

Jogja... Jogja... sampai kapan aku harus pergi kepadamu? Sampai aku harus membutuhkan passport untuk bisa melalui gapuramu? Atau, sampai aku menjalani upacara sia-sia itu?

Jogja... Jogja... haruskah aku kembali kepadamu? Turut serta menjejalkan motorku yang berbokong lebar itu di tengah-tengah kemacetanmu?

Jogja... Jogja... kauibarat mantan yang menua... yang menikah dengan sembarang lelaki mengingat usia yang tak lagi muda... lalu jadi makin cerewet dengan omong kosongmu, khas ibu-ibu PKK, karena tak bahagia. Tapi, masih saja aku membuka halaman facebookmu.

Jogja... Jogja... aku menangisimu sebagaimana halnya Isa menangisi Yerusalayim.

Surakarta Utara, 13 Februari 2018
Padmo Adi

Comments