KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

CATATAN PROSES BERTEATER - NYANYIAN RIMBAYANA: TENTANG MENJADI MANUSIA


CATATAN PROSES BERTEATER - NYANYIAN RIMBAYANA
TENTANG MENJADI MANUSIA
 Padmo Adi, Sutradara

*Tulisan ini pertama kali dimuat dalam booklet drama musikal Nyanyian Rimbayana, yang dipentaskan oleh siswa-siswi XII Jurusan Bahasa SMA PL St. Yosef Surakarta.

“Berikanlah kepada negara, apa yang menjadi hak negara. Dan, kepada siswa, apa yang menjadi hak siswa,” Y.B. Mangunwijaya, dalam hal pendidikan yang memerdekakan. Dalam proses ini, saya tidak boleh lupa, bahwa konteksnya adalah mata pelajaran sastra, ya pendidikan itu sendiri. Masalahnya adalah, mengajari itu mudah, mendidik yang susah.


Mengapa kita belajar sastra? Supaya kita bisa lebih menghargai kemanusiaan. Manusia. Manusia itu bukan sesuatu yang abstrak. Manusia itu real, yaitu tetanggamu satu RT, tetanggamu satu RW, orang yang serumah denganmu, orang yang berbagi pengalaman hidup yang sama denganmu. Manusia itu real, sereal seorang petani yang menangisi tanaman cabainya yang digilas ekskavator. Penghargaan terhadap manusia, dengan segenap pandangan, cara pikir, kisah, dan sejarahnya ini penting. Makin penting di tengah zaman edan yang semuanya didegradasi menjadi perihal "kemakmuran ekonomi", uang semata. Makin penting, sebab kita semua telah habis diburit oleh kapitalisme. Penghargaan terhadap manusia ini penting, sebab ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang! Apa saja hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang? Paling sederhana adalah memori, nilai sejarah, dan keyakinan. Kapitalisme dewasa ini telah berhasil membuat segala sesuatunya dipandang hanya dari nilai uangnya, nilai ekonomisnya, untung-ruginya. Kita jadi fetis. Semua boleh, selama bikin dapat banyak duit. Padahal, ada hal-hal dalam diri manusia yang tidak hanya melulu perkara untung-rugi. Sayangnya, biasanya hal-hal macam itu hanya menjadi narasi-narasi kecil yang tertelan narasi-narasi besar. Apa itu narasi besar? Wacana pembangunan demi kesejahteraan ekonomi, misalnya. Agama dan politik adalah contoh lainnya. Itu semua narasi besar yang kerap kali menelan narasi-narasi kecil. Justru pada narasi kecil itulah seorang manusia nampak manusiawinya. Mengapa kita belajar sastra? Agar supaya kita mampu menghargai, memberi empati, bahkan menarasikan kembali narasi-narasi kecil tersebut. Sastra adalah bagian dari humaniora. Humaniora ... Human ... yang membuat kita menjadi human, MANUSIA. Saya menyebutnya dengan istilah "Manifestasi Kemanusiaan". Hidup yang pahit ini memang perlu dinarasikan. Seperti pare yang dioseng-oseng. Seperti kopi yang di-V60. Tapi ... itu tidak mudah. Sebab (maha)siswa belajar supaya dapat lekas jadi sekrup sistem yang ada.


Untunglah saya pernah bertemu dengan seseorang bernama Doni Agung Setiawan. Doni Novi nama facebooknya. Dia yang melatihku teater di Teater Seriboe Djendela. Aku masih ingat betul apa yang diajarkannya dulu, soal menjadi aktor, menjadi manusia. Bahwa, manusialah yang bisa bergerak, kursi tidak. Maka, ketika seorang aktor teater terhalang kursi, kursi itu tidak akan jadi penghalang, tetapi bisa direspon. Bisa disingkirkan, bisa diinjak, bisa dilompati, bahkan bisa jadi mobil. Hal sederhana itu yang membuatku luwes dalam berproses teater. Sebab, manusia bisa merespon keadaan, kursi tidak.


Dalam proses ini, karena konteksnya adalah pendidikan, saya mencoba untuk tidak terlalu banyak memakai Wacana Tuan. Saya mencoba memakai Wacana Histeria, supaya para siswa benar-benar menjadi subyek, bukan boneka. Saya mencoba menciptakan kesempatan bagi mereka untuk menemukan “hal itu” sendiri. Beberapa kali saya ingin memakai Wacana Analis, tapi selalu banyak gagalnya. Mungkin karena adik-adik kelas saya ini masih remaja. Dan, akhirnya, dalam beberapa kesempatan yang genting, saya pun memakai Wacana Tuan itu. Proses pendidikan dengan memakai teori Empat Wacana ini (wacana keempat adalah Wacana Universitas), ternyata sangat menyenangkan. Kita adalah subyek-subyek lack yang sama-sama ambyar, dan kemudian sama-sama menemukan “hal itu”. Semoga “hal itu” yang kami temukan ini dapat benar-benar kami narasikan dalam sajian pementasan Sabtu, 28 Juli 2018 ini.

O iya ... by the way ... saya harus meminta maaf kepada Ahmad Jalidu, sebab hepiending-nya saya bikin sedih. Saya ingin ini jadi tragedi. Walaupun demikian, terima kasih kepada Ahmad Jalidu, sebab boleh memainkan naskahnya.


Comments

Post a Comment