KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

NOLOGATEN

NOLOGATEN

Nologaten
betapa aku merindukanmu
 
Malam Ngopinyastro XXVII di Bjong sekitar tahun 2014, seorang perempuan membaca puisi.
aku rindu cangkir-cangkir kopimu
tempat aku membaca puisi di balik punggungmu, membisikkan sajak cinta yang gagah tapi nelangsa karena kemiskinan membuat kita hanya bisa bercinta dengan tidak bersuara dan berekspresi muka di bawah kolong meja tanpa pernah berani melegalkannya di hadapan agama dan negara

aku rindu botol-botol susu macanmu
yang aku minum hingga mabuk, lalu meracau tentang teori-teori Gramsci, Althusser, Saussure, Barthes, hingga Žižek, dan Lacan di bawah Beringin Soekarno yang anggun dan kebapakan, seakan-akan sudah siap untuk mengkritisi negara yang mengirim buldoser ke Kulon Progo, mengirim truck-truck ke Pegunungan Kendeng, dan membabat hutan Sumatera, Kalimantan, dan Papua jadi kebun sawit yang disuburkan oleh darah Suku Anak Dalam, Orangutan, dan kemerdekaan

aku rindu dengung suara para pemudamu
yang bercerita tentang kejayaan masa lalu nusantara, sembari melupakan skripsi bab dua belum selesai revisi juga, dan tak memiliki beban memikirkan besok pascawisuda akan kerja jadi apa, jadi budak korporat atau jadi babu negara, atau malah berdikari menanam padi dan jagung sendiri, walau kini benihnya harus beli dari korporasi, sebab budidaya sendiri adalah pidana pelanggaran hak cipta

aku rindu lampu-lampu kuningmu
yang menerangi malam-malam yang seolah abadi, membekukan waktu, seakan subuh takkan pernah berkumandang hingga esok takkan pernah tiba, sehingga kita seolah takkan pernah menua, tetap muda, bertenaga, dan berbahaya, dengan metafora-metafora liar yang mendiskursuskan imajinasi akan suatu harapan tentang dunia yang lebih baik dan memesona
 
Para penyair kafe Malam Ngopinyastro di Warkop Bjong sekitar tahun 2012
Nologaten
sungguh aku merindukanmu

Malang, 17 Desember 2019
Padmo Adi

Comments