SECAWAN ANGGUR

  SECAWAN ANGGUR Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga. Dokumen pribadi. Di sini... di kota ini... aku benar-benar disapih dikastrasi dibiarkan mati-hidup sendiri Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama Tidak ada lembut dekap payudara Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata Dijauhkan dari Tanah pusaka tempat moyangku dibumikan Dan kini cuma jadi kerinduan yang kepadanya hasrat mendamba Akan tetapi, keadaan ini justru aku syukuri sebab aku dengan merdeka mengada tanpa perlu alasan yang mengada-ada Aku bebas menciptakan diri bebas mengartikulasikan diri Aku bebas merayakan hidup menari dengan irama degup Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka Apa makna dari membuka mata pagi-pagi, lalu memejamkannya di waktu malam tiba? Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi. Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima! Menerima Mengakui adalah

SEDEKAT TELINGA, SEJAUH RAGA, SEJAUH MATA, SEDEKAT JIWA


SEDEKAT TELINGA, SEJAUH RAGA
SEJAUH MATA, SEDEKAT JIWA


Jaket touring. Dokumen pribadi.

Aku rindu dekap peluk hangatmu.
Kapan lagi kita bisa pergi ke mana bersama siapa seperti dulu?
Wabah ini memisahkanku dari mereka yang kukasihi.
Wabah ini juga membuatku tak lagi bisa menikmati kehangatan perlindunganmu.
Jika hari baik telah tiba, mari kita melaju ke arah matahari terbit;
kita seberangi dua selat itu.
Di sana, kita nikmati semangat muda, seakan kita abadi selamanya.
Namun, sebelum semuanya itu, kita harus tetap berada di sini, hadir sekaligus absen, terhubung sekaligus terputus, bersama sekaligus sendiri... sendiri-sendiri bersama.
Kita memang akan mati, tetapi tidak hari ini.
Kita akan menyintas!
Dan biarlah wabah ini melintas.

Malang, 16 April 2020
Padmo Adi

Comments