KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING

  KISAH PERANTAU DI TANAH YANG ASING   Pada suatu malam Sang Hyang bersabda, “Pergilah ke Timur, ke tanah yang Kujanjikan keluarlah dari kota ayahmu pergilah dari kota kakek moyangmu seperti halnya Isyana boyongan begitulah kamu akan mengenang moyangmu yang di Medang.”   Aku mengiya dalam kedalaman sembah-Hyang, sembari mengenang para leluhur, bapak dan eyang. Leluhurku adalah Sang Tiyang Mardika yang dengan kebebasannya menganggit sastra Jawa . Sementara eyang adalah pasukan Slamet Riyadi, ibunya Tumenggung, ayahnya Lurah! Bapak sendiri adalah pegawai negeri, guru sekolah menengah di utara Jawa Tengah.   Di sinilah aku sekarang, di tanah Wangsa Rajasa Tidak pernah aku sangka, tidak pernah aku minta Apa yang Kaumaui, Dhuh Gusti Pangeran mami ?! Apa yang Kaukehendaki kulakukan di tanah ini?   Belum genap semua terjawab, empat kali bumi kelilingi matahari! Pun baru purna enam purnama, saat aku tetirah di timur Singhasari, oh, aku

SECAWAN ANGGUR

 SECAWAN ANGGUR

Jika sekiranya mungkin biarlah anggur ini lalu daripadaku. Tapi bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak Bapa di surga.
Dokumen pribadi.


Di sini...
di kota ini...
aku benar-benar disapih
dikastrasi
dibiarkan mati-hidup sendiri

Tidak ada hangat peluk puk-puk Mama
Tidak ada lembut dekap payudara
Tidak ada selimur supaya tak lagi berair mata

Dijauhkan dari Tanah pusaka
tempat moyangku dibumikan
Dan kini cuma jadi kerinduan
yang kepadanya hasrat mendamba

Akan tetapi,
keadaan ini justru aku syukuri
sebab aku dengan merdeka mengada
tanpa perlu alasan yang mengada-ada

Aku bebas menciptakan diri
bebas mengartikulasikan diri
Aku bebas merayakan hidup
menari dengan irama degup

Memang hidup yang senyatanya ini tragedi belaka
Apa makna dari membuka mata pagi-pagi,
lalu memejamkannya di waktu malam tiba?
Kecerdasan adalah memaknai tragedi sebagai komedi.
Lalu kita bisa menertawakan duka yang memang musti kita terima!

Menerima
Mengakui
adalah awal dari sebuah hidup yang sepenuhnya.
Eksistensi ini adalah keterlemparan,
atau kata orang beriman, perutusan.
Kita disuruh pergi ke tempat yang tidak kita ingini.
Bagai anak domba ke tengah kawanan serigala.
Tapi, ribuan tahun silam, serigala dijinakkan jadi anjing,
yang dagingnya selalu kumakan kala pulang ke Surakarta.

Aku cuma mau bilang,
kita tidak terdeterminasi,
walau kita berada pada situasi yang tak kita ingini.
Kita bebas...
tidak ada makna yang dapat dipaksakan untuk mendefinisikan eksistensi kita!
Kita adalah Tuan atas makna hidup kita.

Pertanyaannya, juga pertanyaan selalu bagiku,
beranikah mereguk kebebasan tanpa cakrawala itu?
Beranikah kita meminum anggur dari cawan kehidupan?

Kalau boleh, biarlah cawan ini berlalu,
tetapi adalah bodoh jika aku tidak berani mencicipinya, apalagi menenggaknya.
Pada satu titik pada hidup,
kita perlu membiarkan diri lesap dalam energi semesta.
Manunggal dengan Sang Hidup itu sendiri.

Maka akan ada cerita
yang akan dikisahkan
sebuah tragi-komedi
itulah kehidupan.

Malang, 16 Januari 2022
Padmo Adi

Comments