IN MEMORIAM, HADRIANUS DENDA SURANA

IN MEMORIAM, HADRIANUS DENDA SURANA   Bapak dan aku waktu masih kecil Dua puluh tahun yang lalu, hari ini, 29 April 2004, aku tengah asyik latihan teater bersama kawan-kawan teater Biroe di SMA PL St. Yosef, Surakarta, tatkala aku diberitahu bahwa aku sudah dijemput untuk pulang.   Dijemput? Pulang? Aku masih latihan teater!   Ternyata Om Agung yang menjemput. Tumben. Langsung saja aku pamit pada kawan-kawan untuk mengikuti jemputan itu. Pulang. Di sekolah juga ada Om Kokok. Lho, kok yang menjemput sampai dua orang omku segala? Ada hal gawat apa ini?   Dalam perjalanan pulang, Om Agung memboncengkanku naik motor Suzuki tua, yang kami namai Plethuk. Kami terdiam. Tidak bicara. Aku juga tidak curiga.   Beberapa hari yang lalu aku menjenguk bapak di rumah sakit. Bapak akan operasi. Aku diminta membawa pulang buah anggur yang banyak.   "Gawanen mulih." "Lha Bapak?" "Aku wis cukup."   Kubawa pulang buah anggur itu dan kusimpan di

SAJAK SEGA PECEL

 SAJAK SEGA PECEL

Bersepeda adalah perlawanan.
Dokumen pribadi.


Nun jauh di ujung lembah itu,
ada warung sega pecel, kopi susu
Membuatku tetap terus melaju
di jalanan berpasir berbatu

Mendung yang menggantung di ujung
bertalu-talu suara guntur
dan air yang mulai gugur
tidak mampu menahan dan membendung

Jiwa merdeka terus arahkan haluan
Kebebasan adalah pemahaman kerinduan
Yang punya fantasi akan terus melaju
Sepiring sega pecel, secangkir kopi susu

Malang, 28 Maret 2022
Padmo Adi

Comments