PERKAWINAN ADALAH SEBUAH “KEPANITIAAN”
HINGGA MAUT MEMISAHKAN
Refleksi Sederhana atas Peringatan 8 Tahun Perkawinan
Tak pernah terpikirkan olehku di awal usia 20-an tahun
bahwa aku akan kawin, menjadi suami, dan bahkan menjadi ayah. Pada usia dewasa
awal itu, aku mengidentifikasi diri sebagai seorang bohemian melankolis yang takkan
pernah menikah, lalu mati muda. Kemudian, keputusan besar aku ambil di usia 20
tahun. Aku menyatakan cinta pada seorang gadis yang sebenarnya sudah aku kenal
sejak kelas 2 SMA. Sebenarnya, aku sudah menyukainya sejak pandangan pertama di
kaki Gunung Lawu waktu itu. Namun, perjalanan hidup belum mengizinkan kami
untuk bersama. Dia melanjutkan kuliah di Salatiga, sementara aku menjauhi
hiruk-pikuk dunia untuk menemukan diri.
Perempuan itu menerima cintaku pada suatu malam yang
dingin di tepi Lapangan Pancasila Salatiga pada tahun 2009. Sejak saat itulah
kami bersama. Pada waktu awal-awal bersama, aku yang masih dipengaruhi oleh
paradigma dan gaya hidup eksistensialis ala
Sartre-Beauvoir, menyatakan bahwa hubungan cinta kami itu tidak perlu diresmikan
ke dalam lembaga perkawinan. Apalagi, aku merasa bahwa pernyataan dan janji
cinta yang disaksikan oleh Bapa Langit dan Ibu Bumi di Kota Salatiga itu sudah
lebih dari cukup.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku kembali merenungkan
esensi dari hidup perkawinan itu sendiri, khususnya perkawinan Katolik. Untuk
apa seorang lelaki harus mengawini seorang perempuan? Apakah Homo sapiens pada awal-awal dulu juga
memiliki lembaga perkawinan? Renungan itu tentu saja dibarengi pula dengan
studi-studi teologi dan filsafat di tingkat Strata Satu di bangku kuliah.
Bertemulah aku dengan seorang eksistensialis lain selain Sartre, bernama
Gabriel Marcel. Melalui paradigma Marcel, aku belajar tentang cinta yang
bermartabat, sebagai puncak dari komunikasi antara Aku dan Kamu menjadi Kita.
Cinta adalah aktus dialogis antara dua subjek merdeka. Dan, ketika Aku
menyatakan cinta kepada Kamu, Kamu tidak akan pernah mati; bukan berarti bahwa
kematian biologis tidak akan terjadi, melainkan bahwa Kamu akan senantiasa
hadir bagi Aku.
Cinta sebagai komunikasi dialogis antara Aku dan Kamu itu
akan mendapatkan legalitasnya dalam lembaga perkawinan. Di sisi lain, cinta
sebagai komunikasi dialogis Aku-Kamu itu akan mendapatkan status sakralnya
tatkala janji perkawinannya diucapkan di hadapan Tuhan Allah. Terlebih lagi,
dalam perspektif teologi Katolik, perkawinan seorang lelaki Katolik dan seorang
perempuan Katolik adalah sakramen! Oleh sebab itu, ketika aku diberi pilihan
untuk mengawini kekasihku dengan serius atau meninggalkannya, tanpa pikir
panjang aku memilih untuk mengiyakan perkawinan itu. Tentu saja dari diriku
sendiri aku telah memiliki disposisi bahwa sejak mengucapkan janji cinta di
Lapangan Pancasila Salatiga di hadapan Bapa Langit dan Ibu Bumi, dan tatkala
dia mengucapkan, “Iya, aku mau,” perempuan itu telah dan akan menjadi
satu-satunya kekasihku yang aku cintai hingga ajal menjemput.
Maka, pada hari Senin, 01 Februari 2016, aku dan
kekasihku saling mengucapkan janji perkawinan, merayakan cinta, saling
menerimakan sakramen, dan me-level-up-kan
relasi kasih kami. Aku dan kekasihku bukan lagi dua, melainkan satu. Aku pun
meninggalkan keluargaku, dia pun meninggalkan keluarganya, untuk saling
bersatu, ratum et consummatum.
Kemudian, pada hari Kamis, 04 Februari 2016, pada acara Ngundhuh Mantu, aku membacakan untuk kekasihku sebuah puisi
berjudul Puisi Sang Temanten; pada bait terakhirnya tertulis: “Dan, kita pun bersatu tubuh. Jiwa kita
berselaras. | Tuhan Allah sendiri yang telah menyatukan. | Sehingga, memaknai
teladan Sang Anak Domba | dengan berani kuserukan padamu... | Ka... | Inilah tubuhku
yang diserahkan bagimu! | Inilah darahku yang dicurahkan bagimu!”
Perkawinan, khususnya perkawinan Katolik, selain adalah sakramen tentunya, juga
memiliki sifat ekaristis; bahwa suami dan istri saling berbagi “tubuh” dan “darah”,
sama seperti alegori Perkawinan Anak Domba Allah dengan Gereja-Nya.
Dalam suasana dialogis (baca: cinta), sakramen, dan
ekaristis itulah seorang lelaki (suami) dan seorang perempuan (istri) saling
berbagi dan saling mengisi. Perkawinan menjadi ibaratnya suatu kepanitiaan: ada
ketuanya, ada wakil ketuanya, ada sekretaris, ada bendahara, ada sie humas, ada
sie acara, ada sie tranpsortasi, ada sie hiburan, ada sie konsumsi, ada juga
tentu saja sie usaha dana, ada sie rohani, ada sie pendidikan dan edukasi. Lalu
juga ada sie-sie yang lain-lainnya sesuai kebutuhan perkawinan itu. Siapa yang
memegang posisi sie-sie tersebut? Ya tentu saja berdua: si lelaki (suami) dan
si perempuan (istri). Perkawinan adalah usaha sepasang spesies Homo sapiens untuk menyintas dan
menjalani kehidupan bersama-berdua, sehingga kans untuk memperpanjang masa
hidup, menjalani hidup dengan kecukupan-sejahtera-bahagia, dan
beregenerasi-reproduksi (mewariskan segenap kebijaksanaan kehidupan) menjadi
lebih besar!
|
Aku dan Kamu menjadi Kita di dalam Cinta. Dokumen pribadi. |
Kurasa, tepat seperti itulah aku dan kekasihku memaknai
perkawinan kami selama delapan tahun ini. Perempuanku itu—Kartika Indah Prativi—adalah
istriku, kekasihku, kawan hidupku, sahabatku dalam suka dan duka, dan partner
setia dalam menjalani hidup yang pahit ini! Ketika aku tidak bekerja karena
masih harus menyelesaikan studi, istrikulah yang menduduki posisi sie usaha
dana. Ketika dia menyatakan ingin memiliki keturunan, hingga harus berhenti
dari pekerjaannya, giliran akulah yang menjadi sie usaha dana. Ketika kami
harus merawat, mendidik, dan membesarkan dua bocah lelaki, kami pun saling berbagi
tugas. Ketika salah satu dari kami menjadi jauh dari Tuhan, kami saling
berdialog untuk memahami dan mengingatkan—bukan menghakimi! Tatkala hati kami
sumpek oleh karena satu dan lain hal, kami saling menjadi kawan curhat. Kami
berusaha saling mendukung satu sama lain sehingga secara pribadi kami level up dan healing bersama. Kami terbuka pada luka-luka batin masa lalu kami,
untuk kemudian bersama-sama lebih mengenali diri kami masing-masing. Kami
berusaha saling membahagiakan, merawat, dan menyejahterakan. Salatiga, Yogyakarta,
Surakarta, Sukoharjo, Malang, hingga kini Singosari, kami berusaha untuk tetap
bersama, sebab kami telah saling berjanji, sebab kami telah menjadi satu
daging, sebab kami adalah satu “kepanitiaan”. Tentu saja itu semua tetap
dibumbui dengan sanggama. Sebagai sepasang suami-istri Katolik, kami perlu
terbuka pada kehadiran keturunan; seks sebagai reproduksi. Selain itu, secara
pastoral juga seks antara suami-istri sah adalah perlu untuk rekreasi. Oleh
sebab itu, obrolan tentang seksualitas bukanlah hal yang tabu. Dalam
persanggamaan itulah kami bersama-sama mencari dan menemukan kemanunggalan Tuhan.
Kehidupan perkawinan kami mungkin belum begitu lama jika
dibandingkan pasangan-pasangan yang telah menjalaninya hingga puluhan tahun,
hingga kaki-kaki nini-nini, bahkan
secara romantis hingga menjemput maut bersama-sama di usia senja. Namun,
kehidupan perkawinan kami juga tidak bisa dibilang baru begitu saja. Kami telah
mengalami suka duka perkawinan ini selama delapan tahun! Ya, 01 Februari 2024
perkawinan kami genap memasuki tahun kedelapan. Kami pernah mengalami hampir
tidak memiliki uang sama sekali, sehingga harus menggadaikan idealisme untuk
bersikap “mana hadap” sekadar mendapat Rp 300.000,00. Kami pun juga pernah
begitu saling marah satu sama lain, sehingga segenap komunikasi dan dialog
mandeg, kemudian saling mengambil jarak untuk mengendapkan segala sesuatunya.
Setelah emosi itu saling reda, kami pun membuka kembali ruang dialog itu, dan masih
menemukan cinta di sana. Akan tetapi, kami selalu memastikan bahwa segala ups and downs itu kami rembug, sepakati,
putuskan, jalani, dan tanggung-jawabi bersama-sama berdua; juga pada
keputusan-keputusan yang paling absurd sekalipun, tetap kami putuskan dan
jalani berdua, seperti misalnya secara spontan memutuskan untuk pulang ke Solo
tanpa rencana sebelumnya walau rekening sedang tipis. Terlebih pada
keputusan-keputusan penting dan krusial—seperti keputusan semeleh-pasrah-marang-karsaning-Allah ikut tes CPNS, keputusan
hidup bersama-sama berempat di Malang walau tidak punya apa-apa di sana,
keputusan membeli mobil tua Suzuki Jimny Katana tahun 1997, dan keputusan
mempertaruhkan segala angka pada tabungan untuk bisa membeli sebuah rumah
sederhana di Singosari—kami rembug, sepakati, putuskan, jalani, dan
tanggung-jawabi bersama! Melalui perkawinan ini, cinta kami bukan lagi sebuah
cinta layaknya pada sinetron dan telenovela atau K-Drama yang mengawang-awang
meninabobokan, melainkan cinta yang secara konkret memampukan, memberdayakan,
hingga pada akhirnya membuat kami pribadi masing-masing dapat level up. Tidak selalu manis, seringnya
malah pahit. Tapi ya ibarat jangan pare
atau burakku kohi atau malah jamu dhong kates, pahit-yang-nikmat! Nikmat,
karena dijalani berdua. Saling menyejahterakan berdua.
Tidak terasa, perkawinanku dengan Kartika Indah Prativi
telah berjalan selama delapan tahun. Anak mbarep
kami pun kini sudah SD kelas 1. Adiknya pun sudah belajar sekolah di TK kecil.
Kami bersama-sama di Singosari. Masih banyak keputusan-keputusan penting dan
krusial perlu kami rembug, sepakati, putuskan, jalani, dan tanggung-jawabi
bersama. Masih ada satu keputusan penting yang belum juga berani kami ambil.
Dan, dalam perjalanan delapan tahun perkawinan kami, tentu saja masih banyak
hal yang perlu kami evaluasi dan perbaiki, seperti misalnya kami perlu lebih
banyak melibatkan Tuhan, sebab ya DEVS
PROVIDEBIT! Iman semacam itu akan menjauhkan kami dari kegelisahan dan kekhawatiran
yang tidak produktif.
Kiranya refleksi sederhana ini dapat memberi makna pada
delapan tahun perkawinan kami dan lima belas tahun kisah cinta kami besok Juli
tahun ini. Kartika Indah Prativi, aku cinta padamu! Kita lanjutkan “kepanitiaan”
ini hingga ajal memisahkan.
Malang, 31 Januari 2024
Padmo Adi
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHWA mas mba... Maturnuwun pencerahannya soal perkawinan.. btw bgmn cara update data sorosilahnya
ReplyDeleteTerima kasih. Dengan senang hati untuk berbagi pengalaman dan refleksi.
DeleteUntuk update/revisi data sorosilah, apa yang bisa saya bantu?