AWAL DARI KISAH YANG LAIN

AWAL DARI KISAH YANG LAIN Desain cover oleh Daniela Triani   Kata Pengantar Kisah-kisah Problematika Gender yang Manga-esque   Buku ini adalah ruang-waktu yang kami ciptakan supaya teman-teman mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, yang terlibat di dalamnya memiliki kesempatan untuk berkarya mengartikulasikan pengalaman dan pemahaman mereka akan gender dan problematika yang ada tentang gender tersebut. Tentu teori-teori gender itu mereka dapatkan di dalam kelas. Dalam kesempatan ini, diharapkan para mahasiswa mampu mem- break down dan mengartikulasikan teori tersebut melalui sebuah kisah (fiksi) yang lebih dekat dengan mereka. Tentu saja pembahasan mengenai gender ini selalu menarik dan selalu terbuka akan berbagai macam kemungkinan. Kisah tentang gender yang dihadirkan oleh teman-teman mahasiswa Sastra Jepang ini sungguh menarik; ada kisah yang menelusuri problematika gender itu di ranah yang paling privat—ketika seseorang mempertanyakan identitas gende

IN MEMORIAM, HADRIANUS DENDA SURANA

IN MEMORIAM, HADRIANUS DENDA SURANA

 

Bapak dan aku waktu masih kecil

Dua puluh tahun yang lalu, hari ini, 29 April 2004, aku tengah asyik latihan teater bersama kawan-kawan teater Biroe di SMA PL St. Yosef, Surakarta, tatkala aku diberitahu bahwa aku sudah dijemput untuk pulang.

 

Dijemput? Pulang? Aku masih latihan teater!

 

Ternyata Om Agung yang menjemput. Tumben. Langsung saja aku pamit pada kawan-kawan untuk mengikuti jemputan itu. Pulang. Di sekolah juga ada Om Kokok. Lho, kok yang menjemput sampai dua orang omku segala? Ada hal gawat apa ini?

 

Dalam perjalanan pulang, Om Agung memboncengkanku naik motor Suzuki tua, yang kami namai Plethuk. Kami terdiam. Tidak bicara. Aku juga tidak curiga.

 

Beberapa hari yang lalu aku menjenguk bapak di rumah sakit. Bapak akan operasi. Aku diminta membawa pulang buah anggur yang banyak.

 

"Gawanen mulih."

"Lha Bapak?"

"Aku wis cukup."

 

Kubawa pulang buah anggur itu dan kusimpan di kulkas; untuk kami makan bersama setelah bapak pulang, pikirku. Aku merasa, bapak takkan lama di rumah sakit. Akan sembuh dan segera pulang. Lalu hubungan bitter-sweet kami pun akan berlanjut.

 

Semakin dekat ke rumah, aku melihat bendera merah dikibarkan pada tiap gapura yang menuju arah rumah kami. Om Agung membawa kami berputar jauh, tetapi tetap mengarah ke rumah. Ketika Plethuk semakin mendekat ke arah rumah, dari kejauhan aku lihat tugu jam di dekat rumah kami sudah dikibari bendera merah juga. Perasaanku menjadi tidak nyaman.

 

"Dik," kata Om Agung sembari terus mengendarai Plethuk merayap mendekat ke rumah, "sing sabar ya... ."

 

"Bajingan! Bapakku mati!" teriakku dalam hati.

 

Benar saja, di depan rumah sudah ada kajang; orang-orang sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Turun dari motor, masuk ke rumah, kudapati tubuh bapak membujur di ruang tamu ditutupi kain jarik. Betapa remuknya aku waktu itu. Aku yatim! Remaja yatim! Hubunganku dengan bapak sedang tidak baik waktu itu, sebab sebagai remaja lelaki aku mulai rebel. Bapak tidak mau aku sekolah di swasta, maunya aku sekolah negeri, sementara aku mau studi di Jurusan Bahasa, bermain teater, di sekolah swasta Katolik.

 

"Ameh dadi apa kowe? Ameh dadi iwak?" tanya bapak.

 

Kesedihan itu kuluapkan dengan memakan habis seluruh buah anggur yang diberikan bapak beberapa hari yang lalu. Aku menyantapnya sembari menangis sejadi-jadinya.

 

Bapak telah tiada. Hari ini, 29 April 2024, dua puluh tahun sudah! Bapak dulu adalah guru biologi di desa, lalu jadi kepala sekolah SMP Negeri di Jawa Tengah bagian utara.

 

"Dadi guru kok ndadak adoh men tekan ndesa ta, Pak? Mulihe seminggu pisan. Mbok nang Sala wae."

"Bapak mengabdikan diri pada bangsa dan negara, Le."

 

Sebagai seorang guru biologi, bapak adalah seorang rasionalis, walau ada sisi melankolisnya juga.

 

"Aku guru biologi. Gaweyanku mbeleh kodok. Saiki aku ameh dibeleh," canda bapak menjelang operasinya.

 

Ya, pascaoperasi bapak memang segera pulang dari rumah sakit seperti yang kuduga. Bahkan, bapak pulang ke rumah Bapa! Beristirahatlah dalam damai, Bapak!

 

Bapak, lihatlah... kini anak lanangmu telah menjadi iwak... sama seperti kisah lima roti dan dua ikan... diberkati dan dibagi-bagikan kepada lima ribu orang... sama sepertimu yang mengabdi pada bangsa dan negara nun jauh di desa Jawa Tengah sebelah utara.


Jadilah pendoa kami di surga! Santo Hadrianus, doakanlah kami.

In memoriam, Hadrianus Denda Surana. Aku kangen.

Singosari, 29 April 2024

Padmo Adi

Comments