Pagi ini aku mengunjungi seorang nenek yang berjualan
makanan di dekat kuburan. Aku sarapan di sana. Mahasiswa/i "Universitas
Humanis-Akademis Jogja" mungkin mengenal siapa nenek ini. Sepanjang aku
menyantap sarapanku, nenek itu dengan bahagia menceritakan seorang "cucu
angkat"-nya. Dia dulu adalah seorang mahasiswa "Universitas
Humanis-Akademis Jogja" pula, sekarang sudah lulus dan bekerja di kota
yang selalu ingin aku caci-maki dan umpati. Pemuda itu dulu selalu makan di
warung nenek dan hubungan mereka dekat, sehingga nenek itu sudah menganggapnya
cucunya sendiri. Memang setiap kali aku sarapan di sana, nenek itu selalu
bercerita tentang pemuda tersebut. Nenek itu bercerita betapa baiknya dia.
Murah hati.
Aku tidak tahu, apakah nenek itu mengetahui bahwa pemuda itu seorang ateis. Aku tahu dia. Ya, dia memang seorang ateis... bukan sekadar hanya seorang eksistensialis, melainkan eksistensialis-ateis. Mungkin nenek itu tidak menaruh peduli bahwa dia seorang ateis atau seorang beriman. Yang nenek itu pahami adalah bahwa dia menyayangi pemuda itu seperti cucunya sendiri, dan bahwa pemuda itu begitu baik kepada nenek. Mereka memiliki cerita yang indah.
Mungkin kalian, orang-orang beriman, mencibir... mungkinkah seorang ateis melakukan sesuatu yang baik? Apakah ada sesuatu yang baik yang berasal dari orang yang tidak mengakui Tuhan? Bahkan, mungkin kalian, orang-orang beriman, bertanya nyinyir... tidak sia-siakah kebaikan yang dilakukan seorang ateis itu? Bukankah mereka, orang-orang ateis, adalah yang empunya neraka? Dan, mungkin kalian, orang-orang beriman, menanyakan pertanyaan-pertanyaan naif lainnya.
Aku pribadi hanya teringat khotbah Papa Fransiskus beberapa waktu silam. Kurang lebih garis besar khotbah Papa Fransiskus adalah, "Kita bertemu pada titik di mana kita berbuat kebaikan."
tepi Jakal, 05 Juni 2013
@KalongGedhe
Aku tidak tahu, apakah nenek itu mengetahui bahwa pemuda itu seorang ateis. Aku tahu dia. Ya, dia memang seorang ateis... bukan sekadar hanya seorang eksistensialis, melainkan eksistensialis-ateis. Mungkin nenek itu tidak menaruh peduli bahwa dia seorang ateis atau seorang beriman. Yang nenek itu pahami adalah bahwa dia menyayangi pemuda itu seperti cucunya sendiri, dan bahwa pemuda itu begitu baik kepada nenek. Mereka memiliki cerita yang indah.
Mungkin kalian, orang-orang beriman, mencibir... mungkinkah seorang ateis melakukan sesuatu yang baik? Apakah ada sesuatu yang baik yang berasal dari orang yang tidak mengakui Tuhan? Bahkan, mungkin kalian, orang-orang beriman, bertanya nyinyir... tidak sia-siakah kebaikan yang dilakukan seorang ateis itu? Bukankah mereka, orang-orang ateis, adalah yang empunya neraka? Dan, mungkin kalian, orang-orang beriman, menanyakan pertanyaan-pertanyaan naif lainnya.
Aku pribadi hanya teringat khotbah Papa Fransiskus beberapa waktu silam. Kurang lebih garis besar khotbah Papa Fransiskus adalah, "Kita bertemu pada titik di mana kita berbuat kebaikan."
tepi Jakal, 05 Juni 2013